Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji aturan mengenai konsesi jalan tol sebagaimana tertuang dalam Pasal 50 ayat (6) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU Jalan), Senin (26/11). Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai bahwa permohonan yang diajukan oleh Taufik Makarao dan Abdul Rahman Sabar yang berprofesi sebagai PNS tersebut, bukan mempermasalahkan konstitusionalitas norma, melainkan implementasi Pasal 50 ayat (6) UU Jalan.
Dalam permohonan Nomor 15/PUU-XVI/2018 tersebut, Pemohon menilai frasa “dalam jangka waktu tertentu” pada Pasal 50 ayat (6) UU Jalan ini tidak memiliki ketentuan waktu yang tepat dan jelas terkait konsensi pengusahaan jalan tol. Hal ini mengakibatkan kerugian bagi negara dan masyarakat. Pasal 50 ayat (6) UU Jalan menyatakan, “Konsesi pengusahaan jalan tol diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi usaha jalan tol.”
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah berpendapat dengan tidak menentukan secara pasti jangka waktu konsesi pengusahaan jalan tol sebagaimana dimohonkan para Pemohon, pembentuk undang-undang pada dasarnya telah mempertimbangkan sedemikian rupa berbagai aspek yang berhubungan dengan pengusahaan jalan tol, seperti besaran investasi, biaya operasi dan pemeliharaan, prediksi pendapatan, pertimbangan kemampuan pengguna jalan tol untuk membayar, dan faktor serta tingkat resiko investasi, dan tingkat kelayakan finansial, sehingga jangka waktu konsesi pengusahaan jalan tol akan berbeda satu sama lain sesuai dengan penghitungan parameter dalam pengusahaan jalan tol dimaksud. Seandainya pembentuk undang-undang menentukan jangka waktu konsesi jalan tol secara pasti, misalnya selama 20 tahun sebagaimana dimohonkan para Pemohon, hal demikian justru dapat berisiko terhadap kemungkinan tidak adaptifnya norma dimaksud dalam mengakomodasi berbagai situasi yang sangatmungkin dialami badan usaha dan termasuk pengguna jalan tol.
Suhartoyo menambahkan khusus bagi pengguna jalan tol, dengan batas waktu konsesi yang terbatas sangat mungkin menyebabkan mahalnya/tingginya tarif tol sehingga menyulitkan masyarakat. Pada gilirannya, lanjutnya, hal itu juga akan berdampak terhadap terhambatnya pemenuhan kesejahteraan masyarakat akibat tidak memadainya atau mahalnya tarif penggunaan infrastruktur jalan. “Dengan alasan tersebut, justru dengan tidak ditentukan secara spesifik jangka waktu konsesi pengusahaan jalan tol terbuka ruang untuk mengatur tarif yang terjangkau oleh masyarakat,” jelas Suhartoyo.
Sedangkan mengenai dalil pasal tersebut berpotensi menyebabkan adanya penyalahgunaan dan penggelapan, Mahkamah menilai perjanjian pengusahaan jalan tol merupakan sebuah perjanjian dari hasil suatu proses pelelangan secara terbuka. Keterbukaan atau transparansi dari sebuah proses lelang merupakan ruang kontrol bagi publik untuk mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang dalam menyusun perjanjian pengusahaan jalan tol. Mahkamah berpendapat sepanjang proses lelang telah dilakukan secara terbuka, pemerintah telah menyusun harga perkiraan sendiri (HPS) pengusahaan jalan tol dan dalam perjanjian pengusahaan jalan tol telah pula diatur jangka waktu konsesi, maka peluang terjadinya penyalahgunaan atau penggelapan dalam pengusahaan jalan tol sebagaimana didalilkan para Pemohon telah ditutup sedemikian rupa. Kalaupun masih terbuka ruang penyalahgunaan dan penggelapan, sambung Suhartoyo, maka hal itu bukanlah disebabkan norma Pasal 50 ayat (6) UU Jalan yang menyerahkan penentuan waktu konsesi pengusahaan jalan tol kepada perjanjian. Akan tetapi, lebih pada kepatuhan, konsistensi dan pengawasan ketat pemerintah terhadap pengadaan dan pelaksanaan perjanjian konsesi jalan tol.
“Dalam konteks ini, Pasal 50 ayat (6) UU Jalan tidak mengandung persoalan konstitusional. Oleh karena itu, bukan norma UU Jalan yang seharusnya diubah melalui penafsiran oleh Mahkamah, melainkan pengawasan dalam perumusan perjanjian dan pelaksanaannyalah yang harus ditingkatkan oleh negara, dalam hal ini pemerintah,” tandas Suhartoyo. (Arif/LA)