Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Demikian Putusan Nomor 14/PUU-XVI/2018 dibacakan dalam sidang putusan pada Senin (26/11) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam perkara yang dimohonkan Albertus Magnus Putut, dkk., Mahkamah menilai tujuan BUMN untuk mengejar keuntungan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon mendalilkan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 4 ayat (4) UU BUMN merugikan hak konstitusionalnya karena keberadaan pasal-pasal tersebut telah diselewengkan secara normatif dan menyebabkan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Persero. Dalam PP yang juga dikenal dengan PP Holding BUMN Tambang tersebut, terdapat tiga BUMN yang dialihkan sahamnya kepada PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum). Adapun tiga BUMN yang dimaksud yakni Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang Tbk, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Timah Tbk, serta Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bukit Asam Tbk.Selain itu, Pemohon menilai implimentasi dari UU BUMN tersebut juga telah menunjukkan akibat dari penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN lainnya. Akibatnya, ketentuan ini telah menghilangkan BUMN dan dapat dikategorikan sebagai privatisasi model baru karena adanya transformasi bentuk BUMN menjadi anak perusahaan BUMN tanpa melalui mekanisme APBN dan persetujuan DPR RI.
Terkait dalil Pemohon yang menyebut tujuan BUMN untuk mengejar keuntungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004. Dalam putusan tersebut, Mahkamah berpendapat fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (shareholding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui negara—dalam hal ini, Pemerintah—mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara—dalam hal ini, Pemerintah—dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
“Berdasarkan pertimbangan Mahkamah di atas, apabila dikaitkan dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU BUMN, maksud dan tujuan pendirian BUMN tersebut, yang di dalamnya termasuk mengejar keuntungan, sama sekali tidak mengurangi apalagi menghilangkan prinsip penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945,” ujar Palguna.
Sementara terkait uji materiil Pasal 4 ayat (4) UU BUMN, Mahkamah berpendapat bahwa objek keberatan para Pemohon sesungguhnya adalah PP 72/2016. Seluruh argumentasi yang digunakan sebagai landasan untuk mendukung dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas frasa “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 4 ayat (4) UU BUMN bertolak dari analisis para Pemohon terhadap implementasi ketentuan dalam PP 72/2016 yang dinilai mengingkari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/SKLN-X/2012 dan
Keterangan Pemerintah dalam Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013. Oleh karena itu, lanjut Palguna, apabila para Pemohon beranggapan bahwa PP 72/2016 dimaksud bertentangan dengan undang-undang, termasuk apabila dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, maka hal itu telah berada di luar kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya.
“Sebab hal itu bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma undang-undang melainkan persoalan implementasi norma undang-undang, dalam hal ini implementasi norma Pasal 4 ayat (4) UU BUMN yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, in casu PP 72/2016. Perihal benar atau tidaknya terdapat persoalan implementasi demikian harus dibuktikan melalui proses hukum dan lembaga yang memiliki kompetensi untuk itu bukanlah Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, tidak terdapat relevansi maupun urgensinya bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan persoalan implementasi norma Pasal 4 ayat (4) UU BUMN yang dituangkan ke dalam PP 72/2016 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon,” tandas Palguna. (Sri Pujianti/LA)