Permohonan terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Demikian Putusan Nomor 82/PUU-XVI/2018 dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman pada Senin (26/11) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sejumlah mahasiswa yang terdiri atas Febriditya Ramdhan Dwi Rahyanto, Anggit Dwi Prakoso, Surya Hakim Lubis, Reydo Alfian, Gentur Subagiyo, dan Lahmudin selaku Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (1) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah mengingkari keberadaan Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia atau norma fundamental negara yang menempati urutan tertinggi di puncak piramida hukum. Para Pemohon mendalilkan Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Allgemeine Rechtslehre” mengemukakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis dan berjenjang. Melalui penjelasan tersebut, para Pemohon menyatakan pasal tersebut bertentangan dan tidak sejalan dengan Pasal 2 UU Perpu yang menyatakan “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara” dan TAP MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila.” Dengan demikian, kedua pasal tersebut menurut para Pemohon berpotensi merugikan hak konstitusionalnya.
Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa uji materiil pada Pasal 7 ayat (1) UU Perpu yang didalilkan para Pemohon bahwa adanya kekhawatiran tidak ditempatkannya Pancasila dalam hierarki tertinggi peraturan perundang-undangan akan menyebabkan Pancasila tidak berfungsi sebagai dasar negara, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 59/PUU-XIII/2015 bertanggal 7 September 2016 dan Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013 bertanggal 3 April 2014telah menegaskan dan menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dalam hierarki peraturan perundang-undangan seperti yang diharapkan para Pemohon.
“Sekalipun letak Pancasila di atas UUD 1945, justru akan merusak tatanan hukum karena sama artinya menjadikan Pancasila sebagai norma hukum yang memungkinkan untuk dapat dilakukan perubahan,” jelas Enny.
Dengan demikian, Mahkamah menilai apabila dalil para Pemohon dikabulkan, sama dengan mendegradasi posisi Pancasila sebagai dasar negara. Oleh karena itu, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Selain itu, Enny menambahkan dalam konteks Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the ideology, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tersebut, Mahkamah Konstitusi menggunakan sila-sila Pancasila sebagai dasar pertimbangan dalam putusan perkara tersebut. Sementara itu, berkenaan dengan ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, hal tersebut bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilainya. “Dengan demikian, dalil permohonan tersebut tidak beralasan menurut hukum,” ujar Enny.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, Enny menegaskan dalil Pemohon mengenai kerugian konstitusional tidak terbukti, maka Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut. “Andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut, quod non, telah ternyata bahwa permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menimbang bahwa oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan selebihnya,” tandasnya. (Sri Pujianti/LA)