Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji aturan persyaratan persetujuan DPR. Putusan Nomor 13/PUU-XVI/2018 tersebut terkait dengan pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional), Kamis (22/11).
“Menyatakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada huruf a sampai dengan huruf f dalam Pasal a quo itulah yang mempersyaratkan persetujuan DPR sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang,” jelas Ketua MK Anwar Usman.
Pemohon mendalilkan Pasal 10 UU Perjanjian Internasional bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tersebut dimaknai hanya terbatas pada kategori tertentu. Kategori tersebut, yakni a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri”.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah menegaskan bahwa tidak terdapat frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang” dalam rumusan Pasal 10 UU Perjanjian Internasional. Namun demikian, lanjutnya, Mahkamah dapat memahami maksud para Pemohon, yaitu bahwa norma yang dirumuskan dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional tersebut adalah berkait dengan frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Karena itulah, sambungnya, maka pengesahan terhadap perjanjian-perjanjian demikian dilakukan dengan undang-undang.
Palguna menjelaskan Mahkamah berpendapat bahwa persoalan apakah perjanjian internasional tergolong ke dalam perjanjian yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak baru dapat diketahui dalam mekanisme konsultasi dengan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 24/2000, maka rumusan norma dalam Pasal 10 UU 24/2000 telah menimbulkan penafsiran bahwa hanya perjanjian-perjanjian internasional yang disebutkan dalam Pasal 10 UU 24/2000 itulah yang tergolong ke dalam perjanjian demikian.
Sementara itu, papar Palguna, perkembangan yang terjadi dalam pergaulan internasional yang makin intens sehingga membuat sesama anggota masyarakat internasional makin saling bergantung satu sama lain dalam pemenuhan kebutuhannya, dalam batas penalaran yang wajar, akan sangat berpengaruh terhadap kepentingan nasional Indonesia. Dalam kesalingtergantungan demikian sangat terbuka kemungkinan bahwa hal-hal yang di masa lalu tidak terlalu berdampak terhadap kepentingan dan kebutuhan nasional Indonesia, di masa yang akan datang sangat mungkin membawa dampak serius.
“Oleh karena itu, dengan tetap mempertimbangkan secara saksama keleluasaan yang cukup bagi Presiden untuk dapat secara efektif melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahannya, rumusan norma yang tertuang dalam Pasal 10 UU 24/2000 tidak akan mampu menjawab kebutuhan dan ketidakmampuan menjawab kebutuhan demikian bukan sekadar persoalan teknis-administratif melainkan berkait langsung dengan pemenuhan amanat Konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 10 UU 24/2000 adalah beralasan menurut hukum,” jelasnya.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah menolak dalil terkait konstitusionalitas Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional. Mahkamah menilai dali Pemohon terkait ketiga pasal tersebut tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya Permohonan ini diajukan 14 Pemohon yang terdiri dari individu perorangan serta sejumlah LSM. Perinciannya yakni Indonesia For Global Justice (IGJ), Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, Serikat Petani, Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Aliansi Petani Indonesia (API), Solidaritas Perempuan (SP), Perkumpulan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Amin Abdullah, Mukmin, Fauziah, Baiq Farihun, dan Budiman.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional merugikan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945. Ketiga norma tersebut mengatur mengenai peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional. Pemohon menilai bahwa seluruh ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. (Arif Satriantoro/LA)