Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Direktur PT Timsco Indonesia S. A. Habibie untuk seluruhnya terhadap uji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN) pada sidang pengucapan putusan MK di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (22/11).
Terhadap perkara Nomor 22/PUU-XVI/2018 ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukum mahkamah menyampaikan bahwa ketentuan tenggang waktu 90 hari dalam Pasal 55 UU PTUN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidak ada kaitannya dengan Pasal 55 UU PTUN karena dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tersebut menjamin hak setiap warga negara untuk bekerja, mendapatkan imbalan, dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sementara itu, norma a quo mengatur mengenai tenggang waktu pengajuan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) ke pengadilan tata usaha negara. “Sehingga tidak ada relevansinya mempertentangan norma a quo dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945,” ucap Enny.
Selanjutnya, Enny juga menjabarkan bahwa Pemohon yang mendalilkan norma a quo bersifat diskriminatif, Mahkamah dalam Putusan Nomor 070/PUU-II/2004 bertanggal 12 April 2005, Putusan Nomor 024/PUU-III/2005 bertanggal 26 Mret 2006, dan Putusan Nomor 27/PUU-V/2007 bertanggal 22 Februari 2008 telah menyatakan batasan diskriminasi. Salah satunya MK menyatakan bahwa diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya, bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda.
“Dari ketiga hal terkait dengan diskriminasi yang didalilkan Pemohon, tidak ada satupun yang disebut diskriminasi untuk Pasal 55 UU PTUN karena norma a quo berlaku untuk semua golongan dan status sosial dan tidak ada perlakuan yang berbeda tanpa alasan yang jelas,” jelas Enny di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi hakim konstitusi lainnya.
Mekanisme Hukum
Berkaitan dengan pihak ketiga yang tidak dituju langsung oleh KTUN diberi kesempatan untuk menggugat ke peradilan tata usaha negara dengan pepmerluas ketentuan Pasal 55 UU PTUN, menurut Mahkamah berakibat pada ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Putusan MK Nomor 1/PUU-V/2007 bertanggal 12 Maret 2007 karena tanpa ada batasan kedaluwarsa pihak ketiga untuk mengajukangugatan ke peradilan TUN.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, terhadap pihak ketiga yang tidak dituju oleh KTUN yang merasa kepentingan keperdataannya dirugikan dapat memperjuangkan hak-haknya melalui mekanisme hukum yang berlaku, termasuk Pemohon,” jelas Enny.
Akibat Hukum
Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menyatakan alasan berbeda terhadap pengujian konstitusionalitas norma a quo. Menurut Manahan, dengan diterbitkannya KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN akan menimbulkan akibat hukum, baik pada pihak yang dituju yakni orang atau badan hukum privat maupun pihak yang tidak dituju KTUN yakni pihak ketiga yang terkait dengan terbitnya KTUN tersebut.
Lebih lanjut, Manahan menyampaikan bahwa dalam menerbitkan KTUN, Badan atau Pejabat TUN harus mempedomani syarat-syarat suatu keputusan TUN yang bersifat konkret, individual, dan final. “Namun setelah KTUN diterbitkan, maka pihak yang terdampak atas keputusan itu bukan hanya bagi orang yang dituju oleh KTUN tersebut, tetapi sudah menimbulkan akibat hukum bagi orang lain atau badan hukum lain,” ujar Manahan.
Pembentuk Undang-Undang
Berikutnya terhadap pertanyaan pihak yang berhak mengajukan gugatan ke PTUN dengan alasan KTUN merugikan kepentingan individu atau badan hukum, Manahan menyatakan perlu untuk merujuk pada pasal 53 ayat (1) UU PTUN, maka yang berhak bertindak sebagai penggugat di PTUN tidaklah berlaku action popularis karena tidak setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap KTUN melainkan hanya pihak-pihak yang merasa dirugikan atas terbitnya KTUN.
“Bahwa dalam UU PTUN tidak diatur tentang hak mengajukan gugatan bagi pihak ketiga yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu KTUN sehingga terjadi kekosongan hukum, maka permasalahan hukum ini seharusnya ada pada ranah pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, dapat dipahami alasan dikeluarkannya Sema Nomor 2 Tahun 1991,” ujar Manahan.
Sebelumnya, perkara yang dimohonkan Direktur PT Timsco Indonesia S. A. Habibie tersebut melalui permohonannya menyampaikan frasa “90 hari” dalam Pasal 55 UU PTUN merugikan hak konstitusionalnya. Frasa tersebut dinilai menyatakan secara konseptual, tenggang waktu 90 hari dalam hukum acara PTUNtermasuk sangat singkat. Apalagi jika dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUHPerdata yang tenggang waktunya 30 tahun.
Di samping jangka waktu yang pendek, norma a quo juga dinilai Pemohon, menimbulkan pengeluaran biaya yang banyak dalam mengajukan gugatan kepemilikan atas tanah. Oleh karena itu, batasan tenggang waktu gugatan di PTUN tersebut mutlak diperpanjang seperti yang diatur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2/1991, yang mengatur perpanjangan masa tenggang waktu menggugat di PTUN.
Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan pada kasus yang dialaminya terlihat aturan yang diberlakukan tidak jelas mengenai batas kedaluarsa gugatan, ada aturan yang menyatakan batas waktu 90 hari (berdasarkan Pasal 55 UU PTUN), namun ada lebih dari 4 bulan (Pasal 3 ayat (3) UU PTUN), bahkan ada aturan yang menyebutkan kapan saja bisa mengajukan gugatan selama ada kepentingannya dirugikan (SEMA Nomor 2/1991). Ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya menimbulkan ketidakpastian hukum. (Sri Pujianti/LA)