Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (21/11). M. Hafidz selaku Pihak Terkait menyebut perkara ini bukan persoalan konstitusionalitas norma.
Hafidz menilai permohonan Pemohon yang menguji aturan PHK merupakan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon karena pekerjanya mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja ke pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung dalam Perkara Nomor 134/PDT.SUS-PHI/2017/PN.BDG. Menurut Pemohon, pekerja tersebut tidak dapat menunjukkan rekam medis atau surat keterangan sakit dari rumah sakit.
“Maka menurut Pihak Terkait, fakta yang demikian adalah bukan persoalan konstitusionalitas norma, melaikan implementasi norma. Sebab, pekerja tersebut telah benar dalam menerapkan norma Pasal 172 Undang-Undang Ketenagakerjaan karena pengadilan maupun hakim sesungguhnya dalam setiap memutus sesuatu sengketa haruslah berpegangan pada fakta dan bukti, sepanjang apakah cukup beralasan bagi pekerja untuk mengajukan permohonan PHK,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, Hafidz melanjutkan jika menggunakan penalaran yang wajar, apabila pekerja tidak mampu membuktikan alasan pengajuan PHK yang dimohonkannya, maka sudah sungguh dapat dipastikan gugatan atau permohonan yang diajukan oleh pekerja akan ditolak oleh pengadilan. Selain itu, pengusaha tidak memiliki kewajiban apapun baik itu memberikan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja dua kali, atau uang pengganti hak satu kali, ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Dengan demikian, maka dalil-dalil Permohonan Pemohon, Pihak Terkait anggap tidak memiliki alasan yang cukup dan dapat dibenarkan oleh hukum. Oleh karenanya Pasal 172 Undang-Undang Ketenagakerjaan harus dinyatakan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” tegasnya selaku Direktur PT Fidzkarana Cipta Media.
Saksi
Sementara saksi Pemohon Achmad Kurnia Syamsudin memberi keterangan terkait Nani Marlina, seorang karyawan yang mengalami kecelakaan dan selama 3 bulan Nani Marlina memberikan surat keterangan dokter kepada perusahaan. Namun, setelah bulan keempat sampai satu tahun, tidak ada keterangan dari yang bersangkutan yang menyatakan bahwa Nani Marlina itu sendiri sakit.
“Sedangkan, waktu Saudari Nani Marlina ini yang bulan keempat sampai seterusnya, Nani Marlina masih punya hak, dalam arti kata gajinya, dan Nani Marlina masih mengambil gajinya tiap bulan. Dan realitanya di lapangan setiap bulannya kami lihati, ini dalam keadaan masih sehat, masih bisa beraktivitas kerja,” ujarnya mewakili PT Manito World.
Perusahaan, lanjut Achmad, sudah melakukan seperti bipartite ataupun tripartite melalui serikat pekerja dan melalui juga dari dinas pemerintah. Anjuran Dinas Tenaga Kerja Sukabumi, dan pihaknya yang mewakili pimpinan perusahaan menyatakan Nani Marlina dipekerjakan kembali.
“Tetapi setelah ada anjuran tersebut Nani Marlina merasa keberatan, mereka mengajukan ke PHI. Tetapi ini yang menjadi pertimbangan karena Putusan PHI berbeda dengan putan Tripartite,” jelasnya.
Sebelumnya Karyawan PT Manito World kembali mengajukan uji materiil terkait aturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja/buruh yang memiliki sakit berkepanjangan sebagaimana diatur dalam Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Perkara yang teregistrasi dengan nomor perkara 77/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Banua Sanjaya Hasibuan, David M. Agung Aruan, dan Achmad Kurnia selaku karyawan di PT Manito World.
Pemohon berkeberatan dengan keberlakuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya. Pemohon mendalilkan hak-hak konstitusionalnya potensial dirugikan atas berlakunya Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, karena pekerja/buruh dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan menerima kompensasi apabila ia mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan tanpa disertai/dibuktikan dengan rekam medis dari kedokteran. (Arif Satriantoro/LA)