Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Rabu (21/11) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi Nomor 93/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan oleh Palaloi, Abdul Rasyid, Sitefano Gulo, dan Alex yang berprofesi sebagai wiraswasta serta Melianus Laoli yang merupakan mahasiswa.
Pasal 92 ayat (2) huruf c yang berbunyi, “Jumlah anggota: ... c. Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang” berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon.Melalui Mustafa Kamal Singadirata selaku salah satu kuasa hukum menyampaikan keberlakuan pasal a quo akan berdampak pada penyelenggaraan teknis pemilu yang berintegritas dan bermartabat. Menurut Mustafa, pemilu yang demikian tidak akan terlaksana secara maksimal mengingat jumlah penyelenggara 5 berbanding 3 orang jumlah Bawaslu yang harus melaksanakan penyelenggaraan pemilu. Penambahan personil tersebut dinilei perlu untuk mengimbangi personil atau anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dalam pengawasan guna tercapainya pemilu yang demokratis. Selain itu menurut Mustafa Bawaslu dalam penyelenggaran Pemilu 2019 nanti memiliki beban kerja yang banyak dan rumit sehingga dikhawatirkan pelanggaran terkait pemilu bertumpu pada Bawaslu Kabupaten/Kota.
“Oleh sebab itu, bertambahnya anggota Bawaslu dari 3 orang menjadi 5 orang, maka hal ini memudahkan dalam penanganan pelanggaran pemilu secara baik dan adil dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelas Mustafa di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan I Dewa Gede Palguna.
Untuk itu, dalam Petitum, para Pemohon meminta pada Mahkamah agar menyatakan pasal a quo beserta penjelasan dan lampiran frasa 3 (tiga) atau 5 (lima) orang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 5 (lima) orang.
Kedudukan Hukum
Mendapati permohonan para Pemohon, Suhartoyo mencermati agar para Pemohon melengkapi petitum atas hal yang dimintakan pada Mahkamah serta hak untuk mempersoalkan norma a quo diuraikan dengan baik. “Jadi tolong uraikan dalam permohonan kerugian konstitusional yang konkret atau jika pernah jadi anggota Bawaslu atau Panwas banwa kemudian ada perubahan UU dan mengalami pengurangan dan terdampak, maka pertegas kedudukan hukumnya,” jelas Suhartoyo.
Berikutnya, Palguna menanggapi permohonan para Pemohon dengan mencermati tidak disertakan pasal dan bunyi-bunyi pasal dari norma yang diujikan karena hal tersebut berkaitan dengan kerugian konstitusionalitas serta kedudukan hukum para Pemohon. “Oleh karena itu sebelum menguraikan legal standing, maka sebutkan bunyi normanya serta uraikan kerugian konstitusional para Pemohon dan sebutkan pula hubungan causal verban-nya antara norma dengan kerugiannya,” saran Palguna.
Adapun Saldi menilai para Pemohon perlu mempelajari kembali batu uji yang diajukan dalam pengujian undang-undang ini agar keterkaitan kerugian hak konstitusionalitas dapat terkait. Menurut Saldi, tidak hanya Pasal 22E ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 yang dijadikan baru uji, tetapi juga pasal yang benar-benar terlihat adanya hubungan keterlanggaran hak para Pemohon.
Di samping itu, Saldi mengingatkan para Pemohon untuk mempelajari keterkaitan jumlah anggota Bawaslu yang dimaksudkan dengan memberikan argumentasi mengapa jumlah anggota Bawaslu dipersamakan dengan KPU.“Sehingga carikan argumentasi yang kuat,” tegas Saldi.
Sebelum mengakhiri persidangan, Saldi mengingatkan agar para Pemohon menyempurnakan permohonan serta menyerahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 4 Desember 2018 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)