Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan (UU Permasyarakatan) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) pada Senin (19/11) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang yang teregistrasi Nomor 90/PUU-XVI/2018 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M. P. Sitompul didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
Tafsir Nurchamid yang berprofesi sebagai dosen dan merupakan warga binaan Sukamiskin Bandung menjelaskan bahwa Pasal 14 ayat 1 huruf i dan huruf k (UU Permasyarakatan) uang berbunyi, “Narapidana berhak: ... (i) mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), ... k. mendapatkan pembebasan bersyarat,” dan Pasal 1 angka 2 UU PSK berbunyi, ”Saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkapkan suatu tindak pidana dalam kasus yang sama,” serta Pasal 10A ayat (3) huruf b UU PSK berbunyi, ”Penghargaan atas kesaksian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berupa: ... b. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana,” merugikan hak konstitusional Pemohon.
Dalam permohonan Pemohon, Wahyu Nugroho selaku kuasa hukum menjabarkan bahwa pemberian remisi didasarkan pada wewenang toleransi atas dasar kemanusiaan, tujuannya adalah untuk mengurangi masa tahanan. Selain itu, remisi juga diberikan kepada narapidana yang berbuat jasa kepada negara atau kemanusiaan, atau melakukan perbuatan yang membantu lembaga permasyarakatan. Dengan demikian, tujuan akhir dari LP adalah mengubah perilaku narapidana menjadi orang yang baik. Sejak 1950, remisi tidak lagi sebagai anugerah, tetapi menjadi hak setiap narapidana. Apabila dicermati dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU PSK tersebut bahwa frasa “tindak pidana” tidak terdapat kategori tindak pidana, baik tindak pidana umum atau khusus. Adapun dalam praktik penegakan hukum, frasa “tindak pidana” pada UU a quo berdasarkan pengertian tersebut dalam konteks saksi pelaku sangat berpotensi terjadinya diskriminasi serta ketidakpastian hukum sehingga berdampak pada ketidakadilan di antara terpidana. Ketentuan pasal a quo jika tidak dimaknai “saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana umum dan khusus dalam kasus yang sama,” maka akan bertentangan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Selain itu, menurut Wahyu, bahwa jika dicermati ketentuan Pasal 10A ayat (3) huruf b terhadap frasa “remisi tambahan” adalah bagian dari penghargaan atas kesaksian yang diberikan oleh saksi pelaku dan tidak terdapat ketentuan tentang klasifikasi terpidana umum atau khusus (tipikor) sehingga terdapat ruang bagi terpidana apabila setelah memberikan kesaksiannya berpotensi dan bahkan potensial terjadinya diskriminasi terhadap terpidana lainnya.
“Akibatnya Pemohon tidak mendapatkan remisi karena keberlakuan Pasal 1 angka 2 UU PSK jika tidak dimaknai saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkapkan suatu tindak pidana umum dan khusus dalam kasus yang sama,” jelas Wahyu.
Selanjutnya, Wahyu juga menyampaikan bahwa secara kelembagaan, institusi penegakan hukum termasuk bidang hukum pidana terus berkembang, salah satunya lahirnya institusi ketiga seperti KPK yang bersifat ad hoc. Dalam praktiknya, terpidana yang ditangani institusi ini mendapatkan perlakuan yang berbeda. Salah satunya tidak diberikan remisi meskipun terpidana tersebut menjadi saksi pelaku dan berdasarkan UU PSK, terpidana sebagai saksi pelaku mendapatkan penghargaan berupa remisi tambahan. Sedangkan bagi terpidana korupsi yang penanganannya berasal dari kepolisian dan kejaksaan mendapatkan remisi, baik yang bersangkutan memberikan kesaksiannya mapun tidak memberikan kesaksiannya.
“Dengan demikian hal ini menjadikan terpidana tidak mendapatkan jaminan hukum untuk mendapatkan penghargaan tersebut dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta tidak memberikan keadilan di antara terpidana,” urai Wahyu.
Untuk itu, melalui Petitum permohonan, Dian Fariza selaku kuasa hukum lainnya menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf i dan huruf k UU Permasyarakatan bertentangan dnegan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mendapatkan pengurangan masa pidana atau remisi dan mendapatkan pembebasan bersyarat serta menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 10 ayat (3) huruf b UU PSK bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Status
Terhadap permohonan Pemohon tersebut, Manahan mencermati bahwa perlu bagi Pemohon untuk melakukan elaborasi lebih lanjut mengenai kedudukan hukum pihaknya yang berstatus terpidana. Untuk itu, Manahan meminta penjabaran lebih lanjut hubungan terpidana yang mempersoalkan tentang saksi pelaku, terdakwa, dan terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum. Selanjutnya Suhartoyo mengamati adanya kegamangan dari Pemohon seolah-olah terpidana dari KPK ada kekhususan, sedangkan Suhartoyo melihat semangat dari norma a quo tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap terhukum.
“Untuk itu, Pemohon diharapkan dapat memberikan penegasan argumen relevansi antara syarat-syarat yang lain yang harus dibedakan dari lembaga hukum atau penegak hukumnya, apakah benar ada relevansinya?” terang Suhartoyo.
Adapun Enny menjelaskan terhadap perkara a quo Pemohon meminta Mahkamah untuk menafsirkan norma quo. Untuk itu, Enny meminta Pemohon untuk mempelajari putusan-putusan MK terdahulu yang berkaitan dengan perkara a quo. “Jadi, Pemohon bisa menunjukkan pembedanya dengan perkara sebelumnya di mananya? Mahkamah dalam kapasitasnya tidak menangani perkara konkret,” jelas Enny. (Sri Pujianti/LA)