Penyidik pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya. Hal tersebut diungkapkan Plt. Direktur Ligitasi Kemenkumham, Imam Santoso yang mewakili Pemerintah dalam sidang lanjutan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU pada Senin (19/11).
Dijelaskan Imam, Pasal 75 UU TPPU menekankan adanya bukti permulaan yang cukup, “Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidik tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)”.
“Hal ini disandarkan pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang menyebutkan dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi negara dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai faktor,” urai Imam kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 74 dan 75 UU TPPU telah menyebabkan upaya pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak maksimal, Pemerintah menerangkan bahwa modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit.
Secara sederhana, ujar Imam, pencucian uang pada dasarnya dapat dikelompokkan berbagai pola kegiatan. Di antaranya dengan cara placement yang merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari aktivitas kejahatan ke dalam sistem keuangan. Cara lainnya adalah layering yang diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya berupa aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Juga ada cara integration yaitu upaya untuk menetapkan landasan sebagai suatu legitimate explanation bagi hasil kejahatan.
“Hasil tindak pidana melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry,” imbuh Imam.
Di lain pihak, Pemerintah berpendapat bahwa pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Proses tindak pidana pencucian uang tidak harus menunggu adanya putusan pidana atas tindak pidana asal predicate crime harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil kejahatan dan bukan harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan.
Sementara itu Direktur Hukum PPATK, Fithriadi Muslim menegaskan bahwa Penjelasan Pasal 74 UU TPPU mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan pemangku kepentingan. Selain itu Penjelasan Pasal 74 UU TPPU tidak mencerminkan upaya hukum yang efektif dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
“Di samping itu Penjelasan Pasal 74 UU TPPU tidak memenuhi asas peradilan yang bebas, sederhana dan cepat serta menghambat pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan PPATK,” ucap Fithriadi terhadap Perkara No. 74/PUU-XVI/2018.
Dijelaskan Fithriadi, Pasal 44 huruf I UU a quo menyatakan bahwa “Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d. PPATK dapat meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.”
Sebagaimana diketahui, Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia (LAPI), Yayasan Auriga Nusantara, Charles Simabura, Oce Madril dan Abdul Ficar Hadjar selaku Pemohon menguji Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Satu pasal dan satu penjelasan dari Undang-Undang Nomor 8 ini, menurut Pemohon, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan beberapa alasan. Pertama, pertentangan itu timbul karena dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.
Jika diamati, Pemohon beranggapan bahwa sebenarnya tindak pidana pencucian uang itu berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 adalah merupakan tindak pidana yang mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan. Dalam konteks ini, keberadaan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 menyebabkan upaya untuk melakukan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi tidak maksimal. (Nano Tresna Arfana/LA)