Deri Darmawansyah sebagai perseorangan warga negara mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Senin (19/11). Sidang yang digelar di Ruang Panel MK dan teregistrasi nomor 92/PUU-XVI/2018 ini dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan I Dewa Gede Palguna.
Pemohon menyatakan Pasal 222 UU Pemilu yang berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh partai politik atau gabunagn partai politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua pulih lima persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya” merugikan hak konstitusionalnya.
Menurut Pemohon menyatakan bahwa akibat pasal a quo, Pemohon tidak dapat mengakses menjadi presiden dari calon mandiri karena harus diangkat oleh partai politik arau gabungan partai politik. Sedangkan dalam pemilihan kepala daerah terdapat calon mandiri dengan pengumpulan suara tanpa melalui partai atau gabunagn partai politik dalam UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Umum. Atas dasar hal tersebut Pemohon mempertanyakan mengapa calon presiden harus dipersulit.
“Saya mencoba melakukan komparasi dengan penghitungan yakni jika jumlah anggota dewan 560 orang, maka satu kursi anggota dewan ber-KTP 50.000 suara. Maka suara ber-KTP jika ditetapkan 20% adalah 5,6 juta KTP yang harus dibebankan kepada calon Presiden Mandiri,” terang Deri yang mengaku sebagai Pemohon yang ke-18 dalam mengajukan perkara pengujian UU Pemilu.
Untuk itulah, Pemohon meminta pembatalan keberlakuan pasal tersebut. Pemohkn meminta Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Hukum Beracara
Terhadap permohonan Pemohon, Wahiduddin menjabarkan bahwa perlu Pemohon memahami hukum beracara di MK yang harus dipenuhi dalam fotmat permohonan yang diajukan. Sebagai Pemohon yang kesekian dalam pengujian UU Pemilu, Wahiduddin menyarankan Pemophon untuk mengkaji permohonan terkait yang sudah diputus sehingga Pemohon dalam memperkuat uraian perbedaan permohonan dengan yang lain. “Maka, harap jadikan permohonan terdahulu sebagai rujukan dalam memperbaiki permohonan nantinya,” saran Wahiduddin.
Hal senada juga disampaikan Palguna yang meminta Pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum Pemohon sesuai dengan format permohonan yang ada di MK. Untuk itu, Pemohon sebagai perseorangan warga negara memiliki hak-hak serta rumusan norma yang akan diujikan melihat kerugian. “Hak apa saja yang secara spesifik dan maka apabila permohonan dikabulkan maka kerugian tidak akan terjadi. Selain itu, alasan pengajuan permohonan tidak ada argumentasinya. Jadi, tolong dijabarkan lebih lanjut ya, kaitan hitungannya dengan UUD apa? Nanti jawab diperbaikan permohonan,” terang Palguna.
Saldi pun kembali menekankan perlunya Pemohon melihat lagi contoh permohonan di MK, kemudian dalam pengujian ini perlu syarat mengajukan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden dalam UU. “Hal ini penting karena berkiatan dengan kedudukan hukum Pemohon berhak atau tidak mengajukan ini sebagai calon presiden dan wakil presiden mandiri, jika tidak maka akan gugur pada legal standing Pemohon. Jadi, lihat contoh permohoann di website MK semua,” jelas Saldi.
Sebelum mengakhiri persidangan, Saldi mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan penyempurnaan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 3 Desember 2018 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)