Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan kegiatan Membangun Budaya Integritas bertajuk “Workshop Pembangunan Tunas Integritas dan Sosialisasi Pengendalian Gratifikasi, Whistle Blowing System (WBS), Pengaduan Masyarakat dan Benturan Kepentingan” di Bekasi, Jawa Barat. Kegiatan yang dihelat pada Kamis (15/11) diikuti oleh 169 peserta yang terdiri dari PNS, CPNS dan PPNPN di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
Dalam sambutan, Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah menyampaikan kegiatan yang telah terselenggara ketiga kalinya ini, merupakan ikhtiar MK dalam membangun budaya integritas guna menumbuhkan tunas integritas di lingkungan MK serta mengimplementasikan komitmen MK. “Menegakkan serta mengimplementasikan komitmen MK dalam mewujudkan budaya integritas sesuai konstitusi dan merupakan tugas dan tanggung jawab kita bersama,” ungkapnya.
Guntur juga menyampaikan, seluruh pegawai maupun karyawan MK harus membudayakan integritas secara transparansi dan akuntabilitas. Menurutnya, dengan adanya workshop ini, akan memunculkan sebuah sistem dan komitmen bersama di dalam membangun budaya integritas.
Lanjut Guntur, integritas tidak bergantung pada jabatan, kekuasaan, dan pangkat. Namun integritas harus tumbuh pada diri dan kepribadian masing-masing. Selain itu, integritas merupakan alat yang kuat bagi seorang pemimpin untuk memimpin dan dapat meningkatkan kredibilitasnya di mata orang-orang yang dipimpinnya. “Tingkat integritas seseorang berbanding lurus dengan posisi, semakin tinggi jabatan semakin besar tingkat tantangan integritasnya,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Guntur, sebagai kesempatan untuk mewujudkan integritas tidak hanya sebagai pengingat atau notifikasi saja. Namun harus diwujudkan dengan tindakan dan nilai-nilai yang baik. “Persoalan bukan tidak tahu soal integritas, semua pasti paham budaya integritas, namun problematikanya bagaimana mengimplementasikan budaya integritas ini,” tegasnya.
Guntur menyebut upaya pengendalian gratifikasi, dibutuhkan komitmen yang tegas untuk mengendalikan diri terhadap pemberian yang berhubungan dengan jabatan atau konflik kepentingan dengan kewajiban tugas. Gratifikasi tidak semata-mata menyangkut pihak yang meminta atau menerima namun berkaitan pula dengan pihak yang memberi. Atas dasar itu, diperlukan pemahaman dan partisipasi aktif dari masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam pengendalian gratifikasi tersebut. "Sehingga sebagaimana upaya pencegahan tindak korupsi maka upaya pengendalian gratifikasi hendaknya juga diberikan perhatian yang sama," katanya.
Di akhir paparannya, ia berharap komitmen pengendalian gratifikasi tidak hanya omong kosong belaka. Tapi, ada komitmen dan kesadaran diri untuk dapat mengendalikan diri dengan tidak memberi menerima maupun meminta hadiah yang dapat dikategorikan atas gratifikasi.
Wujud Budaya Integritas
Sementara itu, Inspektur MK Tatang Garjito dalam laporannya menyampaikan bahwa pembekalan pegawai MK ini dalam memahami budaya antikorupsi merupakan wujud integritas untuk menolak gratifikasi secara transparansi dan akuntabel. “Dalam mengawal budaya anti korupsi, harus melalui tindakan yang nyata dan baik, jangan ada benturan konflik kepentingan semata,” tandasnya.
Tatang berharap tidak hanya sebagai bentuk memahami pengertian integritas saja, namun harus berani menjunjung tinggi nilai-nilai integritas, serta bisa memberantas korupsi secara transparan. “Kegiatan antikorupsi ini harus bisa diteladani oleh seluruh pegawai MK,” tutupnya. (Bayu/LA)