Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan dari Mahasiswa Universitas Bandar Lampung (UBL) pada Senin (12/11) di Ruang Konferensi MK. Dalam kesempatan tersebut, Peneliti MK Bisariyadi menerima langsung serta menyampaikan materi mengenai MK dan kewenangannya.
Dalam pemaparannya, Bisar menjelaskan bahwa MK lahir pada masa reformasi sebagai hasil Perubahan UUD 1945 yang berlangsung pada 1999-2002. Pada 2003, Perubahan UUD 1945 yang sangat krusial bagi lahirnya MK adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Sebelumnya, lanjutnya, kedaulatan rakyat berada di tangan dan dilaksanakan oleh MPR. Semula Soepomo menginginkan Indonesia sebagai negara integralistik yang menjadikan MPR sebagai ruhnya; sebagai tempat berdiskusi bagi semua golongan. Namun sekarang diubah, kewenangan MPR menjadi terbatas dan kekuasaan kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh UUD 1945. “Menurut Prof. Jimly, ini salah satu wujud konstitusionalisme. Kekuasaan itu dibatasi oleh Konstitusi,” jelasnya di hadapan 54 orang mahasiswa yang hadir.
Lantas, timbul pertanyaan mengenai lembaga yang berhak menafsirkan Konstitusi, maka lahirlah Mahkamah Konstitusi. Permasalahannya sekarang, lanjut Bisar, penafsiran Konstitusi terwujud dalam kewenangan MK memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. “Hanya UU terhadap UUD 1945. Tidak ada peraturan di bawah undang-undang yang akan diuji di Mahkamah Konstitusi. Menguji peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, ataupun Peraturan Presiden bukan ke MK, melainkan ke MA,” tegasnya.
Bisar pun menjelaskan perbedaan uji materiil antara MK dengan MA. Ia menyebut perbedaan terlihat dari batu uji yang digunakan. Jika MA menguji peraturan di bawah perundang-undangan dengan batu uji adalah undang-undang. Maka, lanjutnya, MK menguji materiil suatu undang-undang menggunakan batu uji UUD 1945. “Terdapat 37 pasal dalam UUD 1945, namun yang paling sering dipergunakan sebagai batu uji adalah pasal terkait hak asasi manusia,” imbuhnya.
Akan tetapi, Bisar menyebut terjadi tumpang tindih antara hak asasi manusia dengan hak konstitusional. Padahal, lanjutnya, tidak semua hak asasi manusia merupakan hak konstitusional. “Bedanya, hak konstitusional adalah hak-hak yang tercantum dalam Konstitusi. Jika tidak disebutkan, maka bisa disebut legal rights. Indonesia mempunyai UU Nomor 39/2009 yang mengatur tentang hak asasi manusia. Sebagai contoh, hak pilih yang terdiri dari hak dipilih dan hak memilih,” ujarnya. (Lulu Anjarsari)