Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (13/11). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon. Hadir pakar administrasi negara, Dian Puji Nugraha Simatupang.
Dian memaparkan konsep Prof. Djokosoetono mengenai lima fungsi pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintah yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum, melaksanakan pelayanan umum, mengawasi, menyelesaikan sengketa melalui upaya administrasi dan mengatur.
“Pada hakikatnya Yang Mulia, cara untuk fungsi pemerintah dijalankan dilakukan dengan sembilan cara yaitu oleh administrasi negara tersendiri, badan hukum tertentu, subjek hukum pribadi, subjek hukum badan hukum yang menerima subsidi, pemerintah bersama-sama dengan subjek hukum lain, yayasan yang didirikan dan diawasi pemerintah, koperasi yang dipimpin dan diawasi pemerintah, badan usaha milik negara, dan yang terakhir oleh orang atau badan hukum yang diberikan kewenangan melalui delegasi peraturan perundang-undangan,” papar Dian.
Fungsi pemerintahan dalam rangka pendelegasian itu, jelas Dian, dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat. Keikutsertaan masyarakat pada hakikatnya, menjalankan fungsi pemerintahan dengan cara administrasi pemerintahan, memperoleh dukungan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, juga agar masyarakat ikut bersama administrasi pemerintahan mewujudkan tatanan yang dicita-citakan bersama.
“Keikutsertaan tersebut dapat dilakukan dengan partisipasi, konsesi, atau delegasi. Sebagai contoh, dalam hal keikutsertaan masyarakat adalah dalam penyelenggaraan pendidikan yang jelas dilakukan oleh perguruan tinggi swasta maupun oleh sekolah swasta. Dalam jenis keikutsertaannya, partisipasi terlihat pada formal dan informal. Konsesi dilakukan dengan perjanjian atau ketetapan. Delegasi diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ungkap Dian.
Pemohon juga menghadirkan pengamat perkotaan, Jimmy Siswanto Juwana yang menerangkan soal masyarakat jasa konstruksi. “Dahulu kita kenal ada enam unsur masyarakat jasa konstruksi dan pemerintah ada di dalamnya. Artinya, kesalahan lembaga pada masa yang lalu menjadi juga bagian dari kesalahan pemerintah. Karena pemerintah ada di dalamnya. Yang sebetulnya punya kewenangan yang lebih dominan karena melakukan pengaturan,” tegas Jimmy.
Sedang yang lainnya, sambung Jimmy, adalah perusahaan jasa konstruksi yang dilakukan oleh asosiasi badan usaha, masyarakat tenaga ahli yang dilakukan oleh asosiasi profesi, serta masalah intelektual pakar dari perguruan tinggi, unsur organisasi masyarakat sebagai pengamat konstruksi, lalu jasa-jasa terkait lainnya yang menunjang rantai pasok.
“Inilah sebenarnya jasa konstruksi yang sebetulnya perlu ditingkat partisipasinya dalam konteks jasa konstruksi kalau keinginan dan harapannya inginkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 yang diharapkan memberi manfaat. Tanggung jawab yang lebih besar, keseimbangan antara pusat dan daerah yang Peraturan Pemerintahnya dan Peraturan Menterinya belum terbit menjamin terciptanya anggaran tertib usaha jasa konstruksi yang adil. Kemudian meningkatkan peran serta masyarakat, lingkup pengaturan yang diperluas, adanya aspek perlindungan hukum, perlindungan tenaga kerja, adanya jaringan pengaman, dan mewujudkan jaminan mutu,” urai Jimmy.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 70/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Aceh dan Azhari A. Gani selaku pengurus LPJK Aceh. Pemohon menguji tujuh pasal dalam UU No. 2/2017, di antaranya Pasal 30 ayat (2), ayat (4), ayat (5) yang menyebutkan, (2) Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui suatu proses sertifikasi dan registrasi oleh Menteri. (4) Untuk mendapatkan sertifikat badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha jasa konstruksi mengajukan permohonan kepada Menteri melalui lembaga sertifikasi badan usaha yang dibentuk oleh asosiasi badan usaha terakreditasi. (5) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan oleh Menteri kepada asosiasi badan usaha yang memenuhi persyaratan: a. jumlah dan sebaran anggota; b. pemberdayaan kepada anggota; c. pemilihan pengurus secara demokratis; d. sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah; dan e. pelaksanaan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Para Pemohon yang tergabung dalam LPJKP Aceh merupakan perwakilan masyarakat jasakonstruksi di daerah yang telah bekerja kurang lebih 17 tahun dalam mengembangkan jasa konstruksi dengan ditunjang oleh infrastruktur dan sumber daya manusia yang lengkap. LPJKP berada di 34 provinsi, yang untuk pertama kali dibentuk pada tahun 2001 atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
LPJKP dibentuk untuk menyalurkan peran serta masyarakat jasa konstruksi di tingkat provinsi. Pengurus LPJKP dikukuhkan oleh Gubernur melalui Surat Keputusan Gubernur sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2000 juncto PP No. 30 Tahun 2000. Penetapan nama-nama pengurus LPJKP berasal dari usulan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atas dasar hasil “fit and proper test” yang dilaksanakan oleh Panitia Seleksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dengan demikian, LPJKP merupakan suatu badan hukum publik.
Menurut Pemohon, adanya ketentuan Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UU 2/2017, Menteri mengambil hak konstitusional para Pemohon yang selama ini telah menyelenggarakan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi secara profesional, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, terjadi sentralisasi dan birokratisasi penyelenggaraan registrasi dan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi. (Nano Tresna Arfana/LA)