Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) pada Senin (12/11) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang ketiga permohonan dengan Nomor 80/PUU-XVI/2018 tersebut beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR.
Pemerintah yang diwakili oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes Usman Sumantri menyampaikan bahwa permohonan Pemohon bukan mengenai masalah konstitusionalitas norma. Sumantri menjelaskan petitum Pemohon merupakan bentuk penambahan norma dan bukan menjadi kewenangan MK. Menurutnya, kewenangan tersebut merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Jadi, lanjutnya, tidak ada permasalahan konstitusionalitas norma.
“Petitum Pemohon yang menginginkan agar Pasal 1 angka 13 dimaknai ‘Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi oleh masing-masing cabang disiplin ilmu sebagai spesialisasi kedokteran yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut sebagai spesialis kedokteran’. Dan dimaknai ‘kolegium dibentuk oleh organisasi profesi dengan disahkan, dibina, dan diawasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia’. Pasal 29 ayat (3) huruf d Undang-Undang Praktik Kedokteran agar dimaknai bahwa kolegium dokter spesialis sedangkan kolegium untuk dokter basic medical doctor adalah fakultas kedokteran dan/atau gabungan fakultas kedokteran yang berakreditasi tertinggi. Menurut Pemerintah, hal ini merupakan bentuk penambahan norma dan bukan merupakan persoalan konstitusional norma yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Hal serupa juga berlaku untuk dalil Pemohon lainnya, yang menyatakan berlakunya Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran menimbulkan persoalan dalam praktik kegiatan pendidikan kedokteran terkait proses tersertifikasi, sehingga menurut Para Pemohon perlu adanya pengawasan regulator atau pemerintah terhadap proses resertifikasi dari IDI, serta keterlibatan aktif dari MKKI. Petitum Pemohon dinilai Pemerintah bukanlah mengenai masalah konstitusionalitas norma.
Permohonan yang dimohonkan 36 orang perseorangan warga negara yang terdiri atas dosen, pensiunan dosen, dan guru besar bidang kedokteran ini melalui Muhammad Asrun selaku kuasa hukum menyampaikan beberapa hal perbaikan permohonan terutama yang berhubungan dengan pembeda permohonan dengan pengujian UU Praktik Kedokteran dalam perkara terdahulu.
Seperti diketahui, dalam sidang yang teregistrasi Nomor 80/PUU-XVI/2018 tersebut, para Pemohon menyampaikan bahwa Pasal 1 angka 12 dan angka 13 serta Penjelasan Pasal 1, Pasal 29 ayat (3) huruf d serta Penjelasan, serta Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon.Salah satu norma yang diujikan adalah Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran pada pengertian frasa “Ikatan Dokter Indonesia,” Pemohon menilai pasal a quo ditafsirkan secara sempit semata-mata sebagai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) untuk tingkat nasional.Padahal menurut para Pemohon dalam lingkungan IDI terdapat beberapa majelis yang sifatnya otonom, seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Pengertian IDI pada pasal a quo tersebut dinilai menempatkan majelis-majelis tersebut menjadi subordinat dari PB-IDI. Khususnya pula bagi Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) yang berakibat pada kesewenangan PB-IDI untuk campur tangan dalam bidang akademis/pendidikan dokter.
Dampak negatif dari pasal-pasal a quo apabila tidak dikoreksi akan menjadikan PB IDI menguasai atau mengendalikan bidang kedokteran dari hulu hingga ke hilir karena tidak terbinanya mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga dalam lingkungan IDI sebagaimana dipraktikkan senior-senior IDI pada masa-masa tahun 2000-an. Untuk itu, para Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan konstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal yang diujikan. (Arif S./LA)