Mahkamah Konstitusi (MK) menghadapi sejumlah tantangan menghadapi Pemilihan Umum Tahun 2019 mendatang. Tantangan inilah yang menjadi pembahasan utama Peneliti Senior MK Pan Mohamad Faiz ketika menerima kunjungan Himpunan Mahasiswa Bagian Hukum Tata Negara (HIMABATARA) Universitas Diponegoro pada Senin (12/11) siang di Ruang Konferensi Gedung MK.
Dalam kesempatan tersebut, Faiz menyampaikan setidaknya terdapat lima tantangan yang dihadapi MK menjelang Pemilu Serentak 2019 mendatang. Pertama, jumlah perkara yang akan dihadapi MK. Menurut Faiz, jumlah permohonan penyelesaian hasil perselisihan legislatif terbanyak dibanding permohonan terkait kewenangan lainnya yang ditangani MK. Sejak 2008, lanjut Faiz, MK telah menangani sebanyak 1.826 perkara perselisihan hasil legislatif. “Akan tetapi, hanya sebanyak 120 perkara yang dikabulkan oleh MK atau sebesar 7% saja,” jelasnya di hadapan sebanyak 48 orang mahasiswa yang hadir.
Faiz juga menyebut tren jumlah perkara Pileg selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2009, MK menangani permohonan penyelesaian Pileg sebanyak 719 kasus dan sebanyak 951 perkara pada 2014. Ia melanjutkan sebanyak apapun perkara yang ditangani MK, tantangannya adalah waktu penyelesaian perkara Pileg dan Pilpres. “Tantangan MK adalah berapapun jumlah perkara tetap harus menyelesaikan dalam waktu 30 hari perkara Pileg dan 14 hari untuk Pilpres,” ujarnya.
Kedua, Faiz melanjutkan, tantangan MK adalah mempersiapkan mekanisme dan strategi penanganan serta penyelesaian perkara Pileg dan Pilpres 2019. Terhadap hal ini, lanjutnya, MK sudah membagi panel hakim menjadi tiga panel berdasarkan provinsi. “Seperti tahun-tahun sebelumnya, hakim konstitusi tidak memegang perkara dari daerah asalnya,” imbuhnya.
Faiz juga menegaskan bahwa MK diamanatkan oleh UUD 1945 untuk menyelesaikan hasil pemilihan umum, bukan menyelesaikan sengketa proses pemilihan umum. Idealnya, ujar Faiz, sengketa terkait proses pemilihan umum diselesaikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh UU Pemilu. Misalnya, terkait pelanggaran administratif diajukan oleh KPU atau Bawaslu. Sementara terkait dengan tindak pidana pemilu dapat dilaporkan ke sentra Gakkumdu sebagaimana diatur dalam UU Pemilu.
“Idealnya, seluruh permasalahan sengketa proses harus sudah selesai pada lembaga-lembaga tersebut. Sehingga ketika masuk ke MK hanya pelanggaran yang tidak bisa diselesaikan. Tetapi kalau proses tersebut tidak optimal penanganannya, akhirnya semua masuk ke MK. Akhirnya, ada guyonan yang mengistilahkan MK adalah Mahkamah Keranjang karena semua pelanggaran masuk ke sana dari intimidasi hingga syarat caleg. Inilah tantangan yang harus dihadapi MK,” ungkapnya.
Tantangan ketiga, sambung Faiz, terkait sumber daya manusia (SDM) dan sarana prasarana serta teknologi informasi dan komunikasi. Ia menyebut SDM berperan penting dalam penanganan sengketa pileg dan pilpres baik hakim maupun sistem pendukung. Terkait penanganan sengketa pileg dan pilpres, MK juga memberikan bimbingan teknis kepada parpol peserta Pemilu 2019 serta KPU dan Bawaslu. “Hal ini bukan untuk memudahkan mereka, namun agar mereka mengerti rules of the game. Jika mempunyai persepsi yang sama antara peserta dan penyelenggara pemilu, maka ketika ada gugatan, mereka tahu ini benar atau tidak,” ujarnya.
Selain itu, Faiz mengungkapkan pentingnya teknologi informasi dan komunikasi dalam penanganan sengketa pileg dan pilpres. Keberadaan MK yang hanya berlokasi di Jakarta bukan menjadi masalah dengan adanya permohonan online. Batas waktu pendaftaran permohonan yang hanya 3 x 24 jam dapat diatasi dengan adanya permohonan online. “Selama ini, MK memanfaatkan SDM, sarpras, dan IT untuk menghadapi tantangan menjelang sengketa pileg dan pilpres. Sejauh ini, pemanfaatan ketiga hal tersebut terbilang efektif, namun MK tidak mau besar kepala dan tetap melakukan perbaikan ke depannya,” jelasnya.
Kemudian, Faiz menyebut regulasi kepemiluan sebagai tantangan yang dihadapi oleh MK dalam menangani sengketa pileg dan pilpres. Menjelang pemilu, ia menyebut akan banyak pengujian undang-undang terkait pemilu.
“Bagi caleg atau parpol yang dirugikan oleh UU biasanya akan menguji ke MK. Yang menjadi masalah jika permohonan tersebut dikabulkan, MK akan meminta pertimbangan KPU mengenai kesiapan menghadapi putusan MK. KPU biasanya akan menyebut siap menghadapi. Sebagai contoh, pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 yang lahir dari putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013,” ujarnya.
Pada sesi tanya jawab, terkait pertanyaan mengenai permasalahan caleg mantan terpidana korupsi, Faiz menjawab bahwa hal tersebut merupakan masalah penafsiran. MK, lanjutnya pernah memutus mengenai caleg mantan terpidana untuk bisa maju dalam pemilihan jika telah mengemukakan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Sementara terkait PKPU yang melarang caleg terpidana korupsi, setelah melalui pertimbangan berbagai pihak, PKPU tidak dapat memuat pembatasan tentang HAM. “Right to vote dan right to be elected merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dan pelarangan terhadap hak asasi manusia hanya bisa dimuat oleh undang-undang,” jelasnya.
Terkait kunjungan tersebut, Dosen FH UNDIP Untung Dwi Hananto menyebut kunjungan tersebut bertujuan untuk mempelajari langsung tentang Mahkamah Konstitusi. Ia menyebut mahasiswa FH UNDIP telah mempelajari secara teori mengenai hukum tata negara dan MK. Melalui kunjungan ini, ia berharap mahasiswa dapat langsung belajar secara praktik tentang MK. (Lulu Anjarsari)