Ahli: Frasa “Itikad Baik” dalam UU Advokat Multitafsir
Jumat, 09 November 2018
| 09:08 WIB
Ahluddin Saiful Ahmad selaku ahli yang dihadirkan pihak Pemohon perkara 52/PUU-XVI/2018 Pengujian UU Advokat saat menyampaikan keahliannya dalam persidangan, Rabu (7/11) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Rabu (7/11). Agenda sidang perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 dan 56/PUU-XVI/2018 tersebut, yakni mendengar keterangan Ahli dan Saksi Pemohon.
Ahluddin Saiful Ahmad yang dihadirkan Pemohon perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 menyatakan Pasal 16 UU Advokat yang dipermasalahkan Pemohon bersifat multitafsir. “Frasa tidak dapat dituntut dalam Pasal 16 ini hanya dapat berlaku saat apa? Saat dihubungkan dengan frasa dengan iktikad baik. Artinya, apakah pembentuk peraturan perundang-undangan sudah memikirkan sebelumnya atau belum? Bahwa dalam penafsiran hukum, ada yang namanya penafsiran a contrario atau menafsirkan dengan kebalikannya,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Ahmad menyebut, Pasal 16 Advokat apabila ditafsirkan secara a contrario dapat dikatakan bahwa advokat dapat dituntut sepanjang tuntutan itu mendalilkan bahwa advokat melaksanakan hal tersebut dengan itikad tidak baik. “Artinya apa? Artinya saya bisa memberikan pendapat di sini bahwa ini adalah sebuah pasal yang sia-sia,” tegasnya.
Sebelumnya, Pemohon menitikberatkan persoalan mengenai pihak yang berwenang dalam menilai itikad baik advokat sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 UU Advokat. Menurut Pemohon, Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (DKOA) merupakan satu-satunya lembaga yang berhak menilai itikad baik advokat secara objektif. Artinya, ada mekanisme yang harus ditempuh yakni melalui pemeriksaan DKOA sebelum kemudian dikeluarkan persetujuan apabila dalam pemeriksaan terbukti melakukan tindakan atau perbuatan dalam menjalankan tugasnya tidak berdasarkan itikad baik. Persetujuan DKOA inilah bentuk mekanisme hak imunitas seorang advokat yang sedang menjalankan tugasnya agar terbebas dari ketakutan dan kekhawatiran dari penilaian subjektif dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan (Perdata atau Pidana) yang dilakukan oleh advokat saat sedang menjalankan tugas profesinya dalam membela kepentingan hukum kliennya. Hal ini tentunya juga sebagai bentuk jaminan dan perlindungan serta upaya dalam menjaga martabat dan kehormatan advokat. (Arif Satriantoro/LA)