Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur (UNSUR) semester 1 dan 5 mengunjungi MK pada Selasa (6/11). Dalam rangka studi lapangan, seluruh mahasiswa tersebut disambut oleh Peneliti MK Nalom Kurniawan dengan didampingi Dosen Hukum Tata Negara UNSUR Dedi Mulyadi, M. Rendi Aridhayandi, dan Asep Hasanudin.
Dalam sambutannya, Dedi menjelaskan bahwa kunjungan ke MK dilakukan dalam rangka memperluas wawasan praktik hukum para mahasiswa. Diakui Dedi, dalam pembelajaran khususnya di Fakultas Hukum UNSUR pihaknya telah memberlakukan multisystem sehingga mahasiswa tidak lagi ujian tertulis layaknya ujian konvensional, tetapi membuat sebuah proyek film pendek dengan berbagi peran dan membagikan hasil dari pembuatan film tersebut pada media sosial. “Jadi, posisi dari studi ini penting, tak hanya perihal teori, tetapi juga praktik dengan menemui atau mendatangkan ahli-ahli hukum di bidangnya untuk berbagi pengalaman dan ilmu dalam menjalankan perannya di ranah hukum. Untuk itu, kami berharap dapat hal baru terkait praktik hukum di MK serta pendalaman melalui diskusi di ruangan ini,” jelas Dedi yang juga bertindak selaku moderator diskusi dalam kunjungan ini.
Mengawali paparannya, Nalom membuka cerita mengenai adanya kekeliruan dari paparan para pendidik terhadap rujukan sejarah mahkamah konstitusi. Menurut Nalom, dalam banyak penyampaian sejarah praktik pengujian undang-undang pertama adalah kasus Marbury lawan Madison pada 1803, padahal sesungguhnya sejarah praktik pengujian undang-undang bermula di Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Daniel Lawrence Hylton lawan Pemerintah Amerika Serikat pada 1796. Dalam kasus ini, lanjut Nalom, MA menolak permohonan pengujian Undang-Undang PajakatasGerbongKerteraApi 1794 yang diajukan.
Selain itu, hal yang juga keliru dalam sejarah mahkamah konstitusi menurut Nalom adalah keberadaan lembaga MK sendiri yang pada umumnya mengenal Austria yang secara operasional berdiri pada 1920. Padahal menurut pandangan Nalom, MK Ceko merupakan lembaga yang secara normatif lebih dulu mengatur keberadaan lembaga ini dalam undang-undang. “Akan tetapi, akibat adanya perang dan keberadaannya yang tidak dikehendaki, maka MK Austria-lah yang secara operasional digaungkan sebagai MK pertama,” terang Nalom.
Selanjutnya, Nalom menjelaskan mengenai perbedaan MKRI dengan MK lainnya di beberapa negara. Dalam pendangan Nalom, meskipun MKRI menyadur sistem MK di negara ain, namun pada praktinya MKRI punya mekanisme sendiri. Sebagai contoh, dalam kewenangan MK di negara lain umumnya hak pengajuan perkara ada pada badan hukum dan pemerintah, sedangkan pada MKRI perseorangan warga negara pun berhak mengajukan perkara sepanjang hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberadaan undang-undang yang ada. “Kalau di negara lain itu, hak perseorangan itu masuknya ke constititional complain, sedangkan dikita kepentingan diri berlaku dan pada akhirnya akan berlaku bagi kepentingan umum,” jelas Nalom.
Di hadapan para calon sarjana hukum tersebut, Nalom juga menegaskan pentingnya memahami hak konstitusional. Ia mencontohkan adanya putusan peradilan yang menyatakan mantan koruptor dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif. “MK tidak meniadakan pembatasan hak tersebut karena apabila dilakukan berarti MK menanggalkan hak rakyat untuk memilih. Maka, keputusannya mereka yang pernah jadi koruptor itu membuat masyarakat semakin paham dan tahu persis siapa yang dipilihnya,” terang Nalom.
Usai mendapatkan materi, para mahasiswa pun diajak mengunjungi Perpustakaan dan Pusat Sejarah Konstitusi MK untuk semakin memahami simulasi sejarah konstitusi Indonesia melalui diorama sejarah konstitusi. (Sri Pujianti/LA)