Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang kedua uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu (31/10). Namun demikian, para Pemohon yang sejatinya terdiri atas Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI) tidak hadir. Netty Saragih selaku pihak advokat yang hanya diminta hadir mewakili Pemohon tidak dapat menjabarkan poin-poin perbaikan permohonan karena tidak diberi kuasa atas hal tersebut.
Atas kejadian ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna selaku pimpinan sidang menyampaikan bahwa meskipun para Pemohon prinsipal tidak hadir untuk menjelaskan perbaikan permohonan yang telah dilakukan, hasil persidangan akan tetap dilaporkan pada Rapat Permusyawaratan Hakim.
“Inilah yang akan kami laporkan pada RPH. Nanti akan diambil keputusan apakah perkaraditeruskan ke pleno atau sekiranya cukup hanya ini saja. Sehingga kuasa Pemohon ataupun Pemohon prinsipal menunggu kelanjutan perkara dari kepaniteraan,“ jelas Palguna yang didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih.
Sebelumnya, Pemohon perkara Nomor 83/PUU-XVI/2018 ini, menyatakan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon menilai UU a quo menyatakan keberpihakan kepada para mantan pejabat korupsi yang kejahatannya telah merugikan warga negara Indonesia khususnya para pekerja/buruh, pegawai negeri sipil bergaji kecil, dan pekerja/buruh swasta yang tenaganya hanya diperas. Akibatnya mereka tidak bisa sejahtera akibat korupsi yang merajalela. Selain itu, Pemohon berpendapat bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali dalam rangka membentuk pemerintahan yang bersih tanpa adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dengan lahirnya UU a quo sangat menciderai rasa keadilan buruh sebagai pemilih pada Pemilu 2019.Buruh yang merupakan kelompok masyarakat yang selalu ikut dalam setiap pemilihan umum berharap anggota DPR RI dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota bisa menjalankan tugasnya tanpa ada korupsi dan menyampaikan aspirasi buruh. Untuk itu, Pemohon dalam petitum meminta agar Mahkamah menyatakan pasal a quo tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa kejahatan extraordinary kejahatan korupsi, kejahatan narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan kejahatan teroris. (Sri Pujianti/LA)