Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Sriwijaya berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (30/10) pagi. Peneliti MK Abdul Ghoffar Husnan menerima rombongan 90 mahasiswa tersebut di Ruang Delegasi Gedung MK.
“Kedatangan kami dimaksudkan agar para mahasiswa lebih mengenal lembaga peradilan di Indonesia. Bahwa lembaga peradilan di Indonesia terbagi dua. Satu di bawah Mahkamah Agung, satu lagi di bawah Mahkamah Konstitusi. Kami berharap agar para mahasiswa diberi pencerahan mengenai Mahkamah Konstitusi dan kewenangannya,” ujar Abdullah Ghoffar selaku pimpinan rombongan mahasiswa.
Di awal, Abdul Ghoffar Husnan menerangkan bahwa beberapa tahun lalu ada buku berjudul “The Living Constitution” yang memunculkan pertanyaan mendasar dari penulisnya, David A. Strauss, “Apakah kita mempunyai sebuah Konstitusi yang hidup?” Menurut David, sebagus apapun sebuah Konstitusi, kalau tidak didesain menjadi Konstitusi yang bernyawa, secara otomatis Konstitusi itu akan terlibas oleh zaman. Kenapa Konstitusi Amerika Serikat yang sudah lebih dari 200 tahun namun sampai saat ini masih dipergunakan, apalagi Amerika Serikat disebut sebagai ibunya demokrasi? David si penulis buku itu menjawab, Konstitusi di Amerika Serikat didesain untuk menjadi sebuah Konstitusi yang hidup, bernyawa dan mengikuti zamannya. Caranya, dalam Konstitusi itu diberikan satu lembaga yang bisa menafsirkan Konstitusi tanpa harus menunggu perubahan secara resmi,” papar Abdul Ghoffar.
Ghoffar menjelaskan, Konstitusi di Indonesia sudah seringkali mengalami perubahan mulai dari masa kemerdekaan hingga setelah reformasi 1998. “Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia memiliki Konstitusi yang hidup, Konstitusi yang bernyawa? Jawabannya, setelah terjadi perubahan UUD 1945 kita punya Konstitusi yang hidup. Tapi kalau sebelum perubahan UUD 1945, saya katakan Indonesia tidak punya Konstitusi yang hidup. Karena saat itu tidak ada satu pun lembaga negara yang didesain untuk menafsir Konstitusi,” urai Ghoffar.
“Dulu, semua tafsir Konstitusi di Indonesia ada di satu saku yaitu Presiden. Ketika Presiden mengatakan A, itulah tafsirnya. Pada masa itu, ketika ada orang yang melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945, tidak ada satu pun pengadilan yang berwenang memutus seseorang yang melanggar UUD 1945. Kenapa? Karena masa itu Konstitusi tidak didesain untuk bisa ada lembaga yang mengamankan dirinya. Padahal lembaga eksekutif itu tidak didesain untuk jadi penafsir Konstitusi. Karena eksekutif adalah pelaksana Konstitusi. Secara otomatis harus ada di bagian luar itu,” tambah Ghoffar.
Itulah sebabnya, sambung Ghoffar, setelah Reformasi 1998 maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Tepatnya pada 13 Agustus 2003. “Ada yang mengatakan Mahkamah Konstitusi seperti lembaga wasit dalam sistem ketatanegaraan kita. Ada juga yang mengatakan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawas lembaga legislatif. Ada pula yang mengatakan Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir akhir dari Konstitusi,” ucap Ghoffar.
Lebih lanjut, Ghoffar menyinggung empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pertama, berwenang melakukan pengujian Undang-Undang atau judicial review terhadap UUD 1945. Kedua, berwenang memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu berwenang memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Berikutnya, wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran. (Nano Tresna Arfana/LA)