Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Selasa (30/10) siang. Putusan dengan Nomor 66/PUU-XVI/2018 tersebut dimohonkan oleh Minola Sebayang selaku Ketua Umum Asosiasi Advokat Muda Seluruh Indonesia (AAMSI) dan Herwanto selaku Sekretaris Jenderal AAMSI. “Menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon,” ujar Ketua MK Anwar Usman yang didampingi hakim konstitusi lainnya.
Sebelumnya, Pemohon menguji tentang aturan mengenai praperadilan yang terdapat dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c dan d KUHAP. Pemohon mendalilkan mengatakan penundaan sidang praperadilan sering digunakan sebagai upaya mengulur-ulur waktu agar suatu perkara di pengadilan negeri dapat mulai disidangkan. Dengan demikian, maka sidang atas permintaan praperadilan menjadi gugur. Selain itu, Pemohon mendalilkan proses praperadilan yang dinyatakan gugur pada saat dimulainya sidang pertama pemeriksaaan perkara sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, sesungguhnya bukanlah disebabkan oleh kealpaan dari pemohon praperadilan itu sendiri, melainkan disebabkan dari alpanya pengaturan mengenai berapa lama batas waktu dimulainya sidang pertama praperadilan, yang dapat mengakibatkan dalam prosesnya menjadi berlangsung lama. Sehingga, pasal a quo menjadi norma yang muatannya tidak pasti dan tidak adil, karena seseorang yang tidak melakukan kealpaan harus menanggung konsekuensi ketidakpastian hukum dalam proses praperadilan yang masih berjalan dinyatakan gugur.
Kemudian, Pemohon menyatakan proses praperadilan yang masih berlangsung dapat dinyatakan gugur, ketika sidang pertama pemeriksaan perkara dimulai. Pranata praperadilan bukanlah pranata “kelas dua” yang dapat dinegasikan begitu saja, karena pada hakikatnya pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Menurutnya, ketika dimulainya sidang pertama pemeriksaan perkara dimulai dan proses praperadilan belum selesai, seharusnya sidang pemeriksaan perkara ditunda prosesnya sampai putusan praperadilan selesai agar tercipta kepastian hukum yang adil. Padahal, bahwa eksistensi dari pranata praperadilan mempunyai derajat yang sama pentingnya dengan proses pranata peradilan yang lainnya dalam memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia.
Peradilan Cepat
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah berpendapat ketentuan yang membatasi proses pemeriksaan permohonan praperadilan selama 7 (tujuh) hari telah mencerminkan adanya asas peradilan cepat. Hakikat permohonan praperadilan hanyalah menguji keabsahan formal dalam proses yang dilakukan penyidik atau penuntut umum berkaitan dengan ketentuan Pasal 77 KUHAP juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015.
“Ketentuan dimaksud telah memberikan kepastian dengan secara eksplisit membatasi lamanya permohonan praperadilan diperiksa. Jika norma tersebut dinyatakan tidak konstitusional, atau diberikan syarat bahwa sidang pokok perkara hanya dapat dimulai setelah adanya putusan permohonan praperadilan justru memicu adanya ketidakpastian hukum yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015,” ujar Suhartoyo.
Terkait dalil Pemohon, Mahkamah berpendapat hal tersebut semata-mata merupakan persoalan implementasi yang memang sulit untuk dihindarkan dan semua berpulang kepada semangat dan integritas para penegak hukumnya. Namun dengan mencermati semangat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 tersebut di atas. Seharusnya tidak ada alasan lagi bagi hakim praperadilan untuk tidak memutus permohonan praperadilan yang sudah dimulai pemeriksaannya karena sudah sesuai dengan tenggang waktu untuk memeriksa pokok perkara yang ditetapkan oleh Majelis Hakim untuk persidangan pertama terhadap pokok perkara.
“Demikian juga dengan Majelis Hakim yang memeriksa pokok perkaranya seharusnya tidak segera melaksanakan sidang pertama apabila memang mengetahui pemeriksaan praperadilan telah dimulai, karena hanya diperlukan waktu 7 (tujuh) hari untuk menunggu permohonan praperadilan untuk diputus dan tenggang waktu itu juga seharusnya menjadi waktu minimal atau sekurang-kurangnya yang dipandang wajar dan cukup yang selalu dipergunakan Majelis Hakim dalam menetapkan persidangan pertama dalam sebuah perkara biasa. Hal ini memerlukan adanya koordinasi dan sinergi antarpenegak hukum tanpa mencampuri kewenangannya masing-masing,” tandas Suhartoyo. (Lulu Anjarsari)