Permohonan yang diajukan oleh satu keluarga tentang uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) dianggap Majelis Hakim Konstitusi tidak jelas. Hal ini berakibat Majelis Hakim Konstitusi memutus tidak dapat menerima permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 69/PUU-XVI/2018. “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung pada Selasa (30/10) siang.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menyelenggarakan sidang perbaikan permohonan pada 18 September 2018, namun ternyata permohonan para Pemohon tetap tidak jelas. Dalam cover Perbaikan Permohonannya, para Pemohon memberi “judul” permohonannya “Permohonan Judicial Review Pengujian Materiil UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik/Demokrasi/Kedaulatan Rakyat/Liberalisme: Komunisme-Paham Sekular-Sekularisasi/Memisahkan Agama Dari Negara Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Sementara itu, dalam “Hal” permohonannya, para Pemohon menulis “Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Sedangkan dalam uraian permohonannya, para Pemohon menyatakan mengajukan “pengujian formil”, namun dalam uraian permohonannya para Pemohon tidak menguraikan alasan-alasan pengujian formil.
Suhartoyo melanjutkan, dalam hubungan ini, jika uraian para Pemohon di halaman 17 Perbaikan Permohonannya dianggap sebagai alasan pengujian formil, uraian para Pemohon dimaksud hanya berisikan kutipan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005; Pasal 2, Pasal 3, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945 tanpa penjelasan atau argumentasi lebih lanjut.
Selanjutnya, lanjut Suhartoyo, dalam petitum permohonannya para Pemohon memohon agar Mahkamah “Menyatakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” sehingga tidak menunjukkan sebagai petitum permohonan pengujian formil yang seharusnya berisikan permohonan agar Mahkamah menyatakan pembentukan suatu undang-undang, in casu UU Parpol, tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a UU MK.
Sebaliknya, jika dengan rumusan petitum demikian para Pemohon dianggap memohonkan pengujian materiil, para Pemohon tidak memberikan argumentasi yang cukup untuk itu, yaitu argumentasi yang jelas perihal mengapa suatu materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang, in casu UU Parpol, dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK). “Dalam kaitan ini, para Pemohon hanya memberi uraian sumir dan tidak jelas maksudnya,” tandasnya.
Pemohon ini adalah Surya Kusmana, Siti Lidya Rahmi, dan Lilis Agus Nuryati. Mereka memandang UU Parpol bertentangan dengan Pancasila yang menjadi dasar negara sebagai representatif hukum perikatan kedaulatan Tuhan yang rumusan dikutip dan dicantumkan pada Pembukaan UUD 1945. Selain itu, UU Parpol juga dinilai bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (3) UUD 1945. Pemohon juga menyebut implementasi UU a quo identik dengan meniadakan hak konstitusional para Pemohon sebagai warga negara dan sebagai generasi penerus bangsa. Pemohon pun mendalilkan Indonesia tidak bernegara atas dasar hukum liberalisme kedaulatan rakyat, demokrasi ataupun partai politik. (Arif Satriantoro/LA)