Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima uji materiil aturan Peninjauan Kembali sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). MK beralasan materi yang diuji pernah diputus MK dan tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Sidang pengucapan putusan Nomor 62/PUU-XVI/2018 digelar pada Selasa (30/10) di Ruang Sidang Pleno MK. “Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Anwar Usman.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan Wakil Ketua MK Aswanto, Mahkamah menilai tidak terdapat perbedaan dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan Pemohon a quo dengan permohonan Nomor 16/PUU-VIII/2010, permohonan Nomor 45/PUU-XIII/2015, dan permohonan Nomor 108/PUU-XIV/2016. Salah satu di antara beberapa dasar pengujian dalam permohonan Nomor 16/2010 adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Adapun dasar pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. “Dengan demikian, berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak dapat dimohonkan pengujian kembali,” ujar Aswanto.
Sebelumnya, Sutrisno Nugroho yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia telah dijatuhkan putusan pidana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 1985/Pid/Sus/2015/PN.Jkt.Brt tanggal 31 Maret 2016 dan juga telah mengajukan dua permohonan PK sebagaimana Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor 07/Akta Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Brt. bertanggal 05 Juni 2017. Kemudian pada hari Rabu tanggal 28 Maret 2018, Pemohon merasa telah menemukan alat bukti baru (novum) sehingga Pemohon kembali mencoba untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) untuk kedua kalinya. Namun Pemohon merasa permohonan peninjauan kembali yang kedua kali menjadi sia-sia karena adanya pembatasan dalam undang-undang yang diajukan permohonan uji materiil seperti yang tercantum dalam Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.
Menurut Pemohon, MK melalui putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 telah memperkenankan permohonan peninjauan kembali terkait perkara pidana yang dapat diajukan lebih dari satu kali. Namun, Pengadilan Negeri tempat Pemohon disidangkan menolak pengajuan permohonan PK dengan alasan adanya Surat Edaran MA Nomor 07 Tahun 2014 tertanggal 31 Desember 2014. Dalam SEMA tersebut, dinyatakan agar tidak menerima pihak yang mengajukan upaya hukum permohonan PK untuk kedua kali atau lebih, kecuali hanya dengan alasan terdapatnya berbagai putusan dalam satu objek perkara. Akibat dari pemberlakuan pasal a quo, permohonan PK terhadap perkara pidana yang pernah melakukan PK, tidak akan diterima meskipun adanya novum yang mungkin saja sangat substansial. Oleh karena tidak adanya konsistensi antara pasal a quo yang mengatur pembatasan PK, maka hal tersebut telah melanggar prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. (Sri Pujianti/LA)