Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme). “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar Putusan Nomor 55/PUU-XVI/2018 tersebut.
Permohonan Nomor 55/PUU-XVI/2018 tersebut dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pemohon I) dan William Aditya Sarana (Pemohon II) yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyampaikan Pasal 1 angka 1, Pasal 43A ayat (3) huruf b, Bagian Ketiga, Pasal 43C ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 43F huruf c, Pasal 43G huruf a (UU Terorisme) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon menyebut tidak bisa menerima paradigma berpikir yang timbul akibat penggunaan frasa kontraradikalisasi dan deradikalisasi karena para Pemohon tidak mau disamakan dengan teroris. Terlebih lagi, keberlakuan undang-undang a quo dengan penggunaan frasa kontra radikalisasi dan deradikalisasi serta klaim BNPT menyatakan kampus para Pemohon terpapar radikalisme tanpa adanya definisi radikal yang jelas. Selain itu, Pemohon menjelaskan keberlakuan undang-undang a quo tidak berhasil menyelesaikan hal utama yang harusnya dilakukan dalam pemberantasan terorisme.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah berpendapat tidak ditambahkannya kata “terorisme” di belakang frasa kontra radikalisasi dan deradikalisasi dalam UU Terorisme karena yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang sudah jelas, yakni mereka yang rentan dan telah terpapar paham radikal terorisme. Lebih lanjut, Saldi menyampaikan bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa baik frasa kontra radikalisasi maupun deradikalisasi telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Alinea Keenam dan Pasal 43C ayat (1) serta Pasal 43D ayat (1) UU 5/2018 (UU Terorisme). Menafsirkan kedua istilah tersebut, tambah Saldi, tidak cukup hanya dilakukan secara tekstual, melainkan harus dilakukan secara kontekstual. Dengan mengingat judul UU a quo, maka secara kontekstual yang dimaksud dengan istilah kontra radikalisasi dan deradikalisasi adalah dalam tindak pidana terorisme. Jika ditambahkan kata terorisme di belakang kedua istilah tersebut pada rumusan, maka secara teknik perundang-undangan justru hal sangat berlebihan dan overbodig.
“Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Saldi dalam pembacaan putusan pada Selasa (30/10) siang.
Musuh Umat Manusia
Terorisme merupakan salah satu kejahatan yang termasuk serious crime sehingga membutuhkan serious measures. Hal ini karena terorisme adalah hostis humanis generis atau musuh umat amanusia. Upaya negara melawan terorisme tak ubahnya seperti melawan pelaku tindak kejahatan dengan strategi yang tidak mudah diketahui dan ditebak. Oleh karena itu, jelas Saldi, perlu pengaturan terorisme secara tersendiri dan khusus dalam perundang-undangan, termasuk di dalamnya pendefinisian terorisme secara tegas dan jelas.
Ideologi
Definisi terorisme dalam Pasal 1 angka 2 UU Terorisme memang tidak menegaskan perbuatan terorisme bertentangan dengan Pancasila, namun telah memasukkan ideologi sebagai salah satu motif atau tujuan perbuatan terorisme yang bertentangan dengan Pancasila. “Sehingga meski tanpa disebutkan secara jelas dan eksplisit, perbuatan terorisme sudah jelas dan pasti bertentangan dengan Pancasila. Selain itu, Pancasila juga telah menjadi landasan filosofis pembentukan UU a quo,” jelas Saldi.
Penempatan Pancasila sebagai landasan filosofis undang-undang, lanjut Saldi, dikarenakan Pancasila sebagai staat fundamental norm sehingga menjadikan pembentukan dan pelaksanaan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, pasal-pasal dalam UU a quo termasuk definisi terorisme dalam Pasal 1 angka 2 UU Terorisme telah dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. (Sri Pujianti/LA)