Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi M. Guntur Hamzah membuka kegiatan Bimbingan Teknis Program Pengendalian Gratifikasi Di Lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Rabu (24/10), di Depok Jawa Barat.
“Bisnis kantor kita adalah menghasilkan kepercayaan. Kepercayaanlah yang bisa membuat lembaga kita ini selamat, kepercayaan inilah yang membuat lembaga kita berdiri kokoh,” kata Guntur. Guru besar Hukum Universitas Universitas Hasanuddin itu mengingatkan, jangan sampai para pegawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK tidak peduli dengan lingkungan tempat kerja. Menurutnya, ketika menemui sesuatu yang menyimpang seorang pegawai yang baik seharusnya bertindak, jangan karena merasa tidak melakukan kesalahan lalu diam tidak melakukan sesuatu.
Guntur mengatakan, tolak gratifikasi bukan hanya jargon dan bukan hanya sekadar pidato-pidato, tapi juga harus diimplementasikan di lapangan. Menurutnya, kalau berbicara secara norma, gratifikasi adalah segala pemberian yang bisa saja berupa suap atau pun bukan suap. “Tapi yang masuk kategori bukan suap pun juga harus diperhatikan dan berhati-hati,” kata Guntur.
Dalam mengahadapi gratifikasi, Guntur mengatakan bahwa pola pikir akan membuat sistem meski yang ada menjadi sempurna, karena tanpa pola pikir yang bersih maka sebaik apa pun sistem tidak akan berjalan. Lebih lanjut, Guntur mengatakan seharusnya Panitera Pengganti dan Peneliti juga ikut dilibatkan dalam kegiatan ini, karena mereka juga rentan terhadap gratifikasi.
“Semestinya teman-teman dari peneliti dan panitera pengganti juga dilibatkan dalam kegiatan ini, karena berdasar litigasi resiko peneliti dan panitera pengganti termasuk yang paling rentan” kata Guntur.
Kegiatan yang digelar selama tiga hari, mulai Rabu- Jumat (24-26/10) ini diikuti oleh 54 pegawai mewakili masing-masing unit kerja di Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK.
Membangun Budaya Anti Korupsi
Dalam kesempatan itu, Guntur juga menyampaikan materi “Membangun Budaya Anti Korupsi”.“Keterbukaan adalahnya rohnya keadilan, selama tidak ada keterbukaan maka tidak ada keadilan, tapi tidak semuanya dapat dibuka seperti proses pengambilan putusan, proses rapat permusyawaratan hakim, namun akses lainnya seperti persidangan, risalah sidang, dan putusan serta media semua dibuka seluas-luasnya sehingga MK seperti rumah kaca,” kata Guntur.
Menurutnya, keterbukaan ini tidak hanya secara fisik terbuka seperti di MK Jerman yang terbuat dari kaca, namun secara proses mereka tidak terbuka, karena akses warga pencari keadilan dan warga dibatasi.
Guntur mengungkapkan, salah satu wujud transparansi MK seluruh Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara para Hakim Konstitusi dan pegawai MK diunggah ke publik melalui laman MK. Hal tersebut menjadi perhatian tersendiri dari hakim konstitusi dan staf MK dari negara lain karena mereka pun bisa melakukan hal serupa yang telah dilakukan oleh MK Indonesia.
Lebih lanjut, Guntur menjelaskan, korupsi intinya adalah perilaku menyimpang dan perilaku menyimpang berpotensi untuk koruptif. Guntur mengatakan, perilaku menyimpang ini ada tiga lapisan, yaitu menguntungkan kepentingan pribadinya, menguntungkan kepentingan keluarganya, dan menguntungkan kelompoknya yang paling bahaya karena tidak terlihat.
Kolusi, jelas Guntur, juga sangat berbahaya. “Apakah itu karena kesamaan daerah, keluarga, alumni, kelompok, angkatan, dan lain-lain, ini harus diperhatikan oleh seluruh unit kerja termasuk oleh para auditor,” tekan Guntur.
Menurutnya, hanya orang dengan tingkat kesejahteraan yang baik, maka dia akan merasa cukup sehingga tidak mau menerima apapun yang berasal dari luar. Guntur kembali mengingatkan, resiko paling berbahaya bukan ada pada sistem, justru ada pada mindset dan kultur, sistem yang tidak baik namun jika pelakunya memiliki pola pikir dan budaya yang baik memiliki resiko yang kecil. Meski demikian, alangkah akan lebih baik jika sistemnya baik demikian pula dengan orang-orang yang berada di dalamnya memiliki pola pikir dan budaya yang baik.
Gratifikasi Membuka Peluang Korupsi
Direktur gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syarief Hidayat, dalam pemaparannya menjelaskan, korupsi lebih banyak terjadi keserakahan, namun juga karena kebutuhan. Banyak politisi terlibat korupsi karena harus membayar hutang yang mereka pakai untuk biaya politik. Syarif memberikan ilustrasi bahwa secara umum seorang bupati/walikota harus mengeluarkan 70 milyar dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, dan uang tersebut berasal dari pinjaman kepada pihak swasta, oleh karena itu seorang kepala daerah tentu harus mengembalikan uang yang telah dipinjamnya tersebut melalui proyek-proyek dengan melibatkan pihak swasta yang telah meminjamkan uang kepadanya.
Berbicara mengenai gratifikasi, Syarif mengatakan, dalam menghadapi kasus gratifikasi pasal yang digunakan hanya dua, namun dengan varian yang sedemikian banyaknya, membuat gratifikasi sulit untuk ditelusuri.
Menurut Syarif, gratifikasi memang tidak selalu terkait dengan jabatan atau tugas seseorang, namun gratifikasi membuka peluang dari siapapun untuk melakukan tanam budi sehingga ada perlakuan yang berbeda kepada seseorang telah menanam budi. “Kita tidak pernah bisa memprediksi kapan bertemu kembali dengan seseorang yang telah menanam budi ke kita. Karena ketika sudah menanam budi, maka sulit bagi kita untuk berlaku adil,” ujar Syarif. (Ilham/LA)