Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengajukan dua permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) pada Kamis (25/10). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Hendrik. Kemudian, lima Pemohon mengajukan perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, yaitu Fatah Yasin, Panca Setiadi, Nawawi, Nurlaila, dan Djoko Budiono.
Dalam sidang perdana tersebut, Pemohon Nomor 87/PUU-XVI/2018 mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) UU ASN yang mengatur tentang pemberhentian ASN. Sementara perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, Pemohon hanya mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 87 ayat (4) huruf b UU a quo.
Hendrik yang hadir dalam sidang tersebut menjelaskan Pemohon diberhentikan dalam jabatannya berdasarkan Keputusan Bupati Bintan Nomor 26/I/2010, tanggal 15 Januari 2010. Pemohon diberhentikan sementara dari jabatan negeri berdasarkan Putusan Bupati Bintan Nomor 130/III/2011, tanggal 4 Maret 2011. Pemohon diaktifkan kembali sebagai PNS yang diberhentikan sementara dari jabatan negeri berdasarkan Keputusan Bupati Bintan Nomor 328/VI/2012, tanggal 17 April 2012. Kemudian, Pemohon diturunkan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun berdasarkan Keputusan Bupati Bintan Nomor 329/VI/2012, tanggal 12 Juni 2012.
“Pemohon telah menjalani hukuman penjara dan telah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Pinang, sehingga Pemohon kembali menjadi warga negara dengan segenap hak asasi dan yang melekat pada dirinya sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan sejalan dengan semangat yang dikandung dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,” urainya di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan mengungkapkan bahwa kata “dapat” dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN dapat menimbulkan pelaksanaan norma yang bersifat subjektif berdasarkan pelaksana undang-undang. Selanjutnya, menurut Pemohon, frasa “melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d tidak memuat klasifikasi tindak pidana secara spesifik. Hal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan norma a quo. Pemohon menyimpulkan, bahwa seluruh norma yang Pemohon ujikan pada dasarnya telah bertentangan dengan “Asas Dapat Dilaksanakan”, “Asas Kejelasan Rumusan”, “Asas Keadilan”, “Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan”, dan “Asas Kepastian dan Kepastian Hukum.”
Sementara itu, Muhammad Sholeh selaku kuasa hukum Pemohon perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, yang merupakan pegawai negeri yang sudah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi antara 1 tahun, maksimal 1 tahun 6 bulan, menyatakan bahwa para Pemohon khawatir dengan munculnya SKB 3 Menteri, yaitu dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala Badan Kepegawaian tanggal 13 September tentang Penegakan Hukum Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada dalam hubungan jabatan.
“Untuk itu, Pemohon punya hak konstitusional pengujian terhadap Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014. Karena menurut pemberitaan di media ada sekitar 2.674 Pegawai Negeri Sipil yang akan diberhentikan yang termasuk di dalamnya adalah Para Pemohon,” jelas Sholeh.
Kemudian, Sholeh juga menguraikan bahwa Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN mengandung ketidakpastian hukum, menghalangi Pemohon untuk aktif, serta memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Untuk itu, para Pemohon meminta kedua pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Wahiddudin Adams memberikan saran perbaikan. Palguna menyarankan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum (legal standing). Menurutnya, kedudukan hukum yang digunakan Pemohon dalam permohonannya belum jelas sehingga kerugian konstitusional yang dialami belum terlihat.
“Anda mohonkan pengujian itulah yang harus Anda jelaskan di dalam bagian legal standing mengapa dalam kedudukan Anda, misalnya dalam hal ini perorangan warga negara Indonesia, ada hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya itu? Peristiwa konkretnya tentu saja boleh dipaparkan, tetapi narasinya itu harus berisikan uraian sebagaimana yang dimaksud dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi itu. Pertama, apa hak konstitusional Anda yang secara spesifik dilanggar dulu atau menurut anggapan Anda dirugikan oleh berlakunya undang-undang itu?” saran Palguna.
Setelah menguraikan kedudukan hukum, lanjut Palguna, Pemohon diminta menguraikan kerugian konstitusional yang dialaminya. Menurutnya, permohonan Pemohon hanya menjelaskan mengenai kasus faktual, tetapi tidak menguraikan kerugian konstitusional dari berlakunya pasal yang diujikan.
“Anggapan Anda bahwa kalau untuk mengetes logika Anda itu, baru kemudian ada syarat yang terakhir itu. Bahwa kalau Permohonan ini dikabulkan, maka kerugian konstitusional itu tidak akan atau tidak lagi terjadi. Itu yang harus tegas diuraikan atau jelas diuraikan di dalam uraian mengenai legal standing atau kedudukan hukum. Sebab kalau itu tidak jelas, kami tidak akan memeriksa pokok permohonan, sebab itu pintu masuknya,” tandasnya.
Panel Hakim memberikan waktu 14 hari kerja kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Anwar menjelaskan perbaikan permohonan diserahkan paling lambat pada Rabu, 7 November 2018 pukul 10.00 WIB. (Lulu Anjarsari)