Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undnag-Undang Nomor 14 Tahun 1985tentang Mahkamah Agung (UU MA) Pasal 31A ayat (1) dan ayat (4)sertaUndang-Undang Nomor48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekausaan Kehakiman) Pasal 20 ayat (2) huruf b pada Kamis (25/10) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 85/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan dua orang perseorangan warga negara yang berprofesi di bidang hukum yakni Husdi Herman (Pemohon I) yang berprofesi sebagai advokat dan Viktor Santoso Tandiasa (Pemohon II) berprofesi sebagai dosen hukum.
Pasal 31A ayat (1) berbunyi,”Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.” Pasal 31A ayat (4) berbunyi,”Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh MahkamahAgung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.” Pasal 20 ayat (2) huruf b berbunyi,”Mahkamah Agung berwenang: ... b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.”
Yohanes Mahatma Pambudianto selaku kuasa hukum para Pemohon menyatakan Pemohon I yang berprofesi sebagai advokat menilai hak konstitusionalnya dirugikan untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil apabila mendapatkan klien yang memberikan kuasa untuk melakukan pengujian materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di MA. Pemohon I tidak akan mendapatkan kesempatan untuk memberikan keterangan dan mendengarkan keterangan dari pembentuk peraturan perundang-undangan yang diuji serta tidak dapat menghadirkan saksi ataupun ahli untuk memperkuat dalil permohonan.
“Apabila dicermati pasal UU MA khususnya pada bagian yang mengatur tentang uji materil terhadap Pasal 31A, tidak ada satu pun ketentuan norma yang mengecualikan dalam proses pemeriksaan permohonan keberatan hak uji materiil di MA dilakukan secara tertutup dan tidak perlu dihadiri para pihak,” terang Yohanes yang hadir didampingi Pemohon II.
Menurut Yohanes, bahwa norma a quo merupakan turunan dari ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan pada MA untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Dalam pemberlakuannya, dilaksanakan tanpa dihadiri para pihak dan tidak terbuka untuk umum. Padahal tidak ada pengecualian yang diberikan dalam undang-undang.
“Perlakuan tersebut menyebabkan para pihak tidak mengetahui bagaimana proses pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili serta memutus permohonan uji materiil yang diajukan,” jelas Yohanes dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Wahiduddin Adams.
Berkaitan dengan Pasal 13 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil bagi para pihak serta melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keasilan yang menjadi unsur penting dalam prinsip negara hukum.
Selanjutnya, Yohanes menjabarkan terhadap Pemohon II dalam menjalankan profesi sebagai dosen hukum konstitusi di Fakultas Hukum Universitas Surakarta mengalami kerugian konstitusional karena mengalami kebingungan dalam menjelaskan bagaimana proses pemeriksaan dalam persidangan uji materiil di MA yang sesuai dengan UUD 1945 serta ditafsirkan sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017. Untuk itu, Pemohon memohonkan agar ketentuan pasal a quo sepanjang tidak dimaknai proses pemeriksaan dalam persidangan atas permohonan keberatan hak uji materiil dilakukan dengan dihadiri para pihak-pihak yang berperkara dalam sidang yangdinyatakan terbuka untuk umum bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kepastian Hukum
Menanggapi permohonan para Pemohon, Suhartoyo menyampaikan agar para Pemohon mencermati hubungan antara hak atas kepastian hukum yang adil dengan kehadiran pihak ataupun untuk mendatangkan saksi dalam persidangan. Karena menurut Suhartoyo, kehadiran para pihak bukan satu-satunya unsur untuk memperoleh kepastian hukum. Sebab, apabila putusan majelis hakim yang tidak memberikan alasan dan mempertimbangkan dalil-dalil para pihak, tidak dapat dilihat hubungannya dengan hak atas kepastian hukum.
“Sedangkan terhadap dalil kebingungan adalah cara yang sulit menjelaskan hal tersebut. Ini apakah karena diperaturannya tidak sinkron atau memang ada hal yang bertentangan antara satu dengan yang lain,” saran Suhartoyo.
Adapun Palguna meminta agar Pemohon II untuk menjelaskan perbedaan alasan permohonan perkara a quo dengan permohonan Nomor 30/PUU-XIII/2015 yang berhubungan dengan kepentingan Pemohon. Hal ini perlu dilakukan guna menghindari ditolaknya permohonan karena permohonan yang sudah diuji tidak dapat lagi dimohonkan pengujian kembali, kecuali ada alasan konstitusional yang berbeda.
Sebelum mengakhiri sidang, Suhartoyo meminta agar para Pemohon menyerahkan perbaikan selambat-lambatnya pada Rabu, 7 November 2018 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK untuk diagendakan sidang berikutnya. (Sri Pujianti/LA)