Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (25/10). Permohonan yang teregistrasi dengan nomor 89/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan oleh Cecep Sopandi bersama 14 Pemohon lainnya.
Para Pemohon adalah warga Kabupaten Bandung yang merupakan daerah penghasil listrik panas bumi terbesar se-Indonesia. Mereka yang terdampak secara langsung oleh aktivitas pertambangan panas bumi di Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Darajat, Kamojang dan Pangalengan. Aktivitas pertambangan panas bumi di WKP Darajat, Kamojang, dan Pangalengan telah mengakibatkan dampak negatif bagi hidup dan kehidupan Pemohon dan penduduk Kabupaten Bandung.
“Dampak tersebut antara lain telah terjadi gempa bumi dan bencana tanah longsor. Bencana gempa bumi yang pusat gempanya berada di WKP panas bumi tersebut sudah beberapa kali dialami oleh Pemohon dan penduduk Kabupaten Bandung. Hingga sekarang masih terus terjadi. Sedangkan bencana longsor akibat aktivitas pertambangan panas bumi terjadi pada 5 Mei 2015 di WKP Pangalengan. Kejadian longsor yang diiringi dengan meledaknya pipa produksi perusahaan pertambangan panas bumi tersebut. Dari fakta bencana tersebut diperlukan kecepatan respons untuk menangani dan atau menanggulangi dampak bencana untuk saat ini dan ke depan,” tambah Cecep,” urai Cecep Sopandi kepada Panel Hakim MK.
Dikatakan Cecep, ketika Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 yang mengatur pembagian dana bagi hasil panas bumi untuk provinsi sebesar 16% masih diberlakukan, para Pemohon secara konstitusional merasa dirugikan. Penanganan respons secara cepat atau mitigasi preventif dengan kesiapsiagaan bencana dan penanggulangan bencana paling awal melakukan penanganan adalah Pemerintah Kabupaten Bandung, bukanlah Provinsi Jawa Barat.
“Kami menyakini bahwa hak konstitusional kami dirugikan dengan berlakunya Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Penduduk Kabupaten Bandung sebagai daerah penghasil listrik panas bumi ternyata membayar tarif listrik yang lebih mahal daripada penduduk daerah lainnya,” tegas Cecep.
Perjelas Permohonan
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menasehati para Pemohon agar lebih memperjelas permohonan. “Prinsipnya, permohonan dibuat supaya publik dan hakim mengerti serta yakin bahwa permohonan ini benar. Tapi kalau Saudara seperti yang tadi disampaikan secara lisan begini, itu tidak mudah dimengerti. Hakim bisa berpendapat bahwa permohonan ini kabur, tidak bisa dikabulkan. Maka permohonannya tidak perlu panjang lebar seperti ini. Cukup yang menyangkut persoalan pokoknya. Persoalan pokoknya adalah pasal ini bertentangan dengan pasal berapa Undang-Undang Dasar Tahun 1945?” imbuh Arief.
Selain itu, Arief meminta Pemohon lebih tegas menguraikan bagian-bagian mana dari Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang merugikan Pemohon. “Anda harus menguraikan secara jelas dirugikannya itu di mana. Namun Anda tidak menguraikan itu,” tandasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan Pemohon agar memberi pembuktian terhadap dalil yang disampaikan. “Mungkin perlu didalami sekali lagi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005. Itu dipahami betul karena di situlah kemudian Anda bisa mengerti. Kalau kemudian mengajukan permohonan uji terkait dengan Undang-Undang, Pemohon itu harus bisa membuktikan ada atau tidak hak kausalitas yang kemudian dilanggar, dirugikan akibat berlakunya norma? Itu harus dibuktikan,” ucap Enny. (Nano Tresna Arfana/LA)