Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima uji Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), Kamis (25/10). Mahkamah menilai permohonan yang diajukan kabur (obscuur libel). “Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim lainnya.
Dalam pendapat Mahkamah, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 6a UU ITE adalah mutatis mutandis berlaku pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009.
Pemohon, lanjut Suhartoyo, juga mendalilkan Pasal 157 UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Para Pemohon berargumentasi bahwa peraturan pemerintah yang lebih tinggi kedudukannya dari Permen, jika tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
“Berkenaan dengan dalil dimaksud, apabila yang dimaksudkan oleh para Pemohon adalah peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR maka dari sistem hukum peraturan perundang-undangan Indonesia tidak dikenal persetujuan DPR dalam pembentukan peraturan pemerintah,” tegasnya dalam Perkara Nomor 64/PUU-XVI/2018.
Sebelumnya, pengojek konvensional dari Batam mengajukan uji materiil Pasal 157 UU LLAJ dan Pasal 40 ayat (1), ayat (2a), dan ayat (2b) UU ITE. Rahmani dan Marganti selaku Pemohon yang menguraikan sesuai ketentuan a quo kendaraan bermotor roda dua tidak termasuk ke dalam kategori angkutan umum dalam trayek maupun tidak dalam trayek. Padahal, menurut Pemohon, jauh sebelum ada ketentuan tersebut, sudah ada ojek motor bahkan ojek sepeda yang di beberapa tempat masih eksis hingga sekarang. Dengan demikian, Pemohon merasa bahwa profesinya dipandang ilegal oleh pemerintah atau pihak berwenang.
Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan dalam permohonannya, aturan ini juga telah menghilangkan atau mengabaikan landasan konstitusional dalam pendelegasian kewenangan untuk mengatur. Menurut Pemohon, dalam ketentuan tersebut disebutkan secara eksplisit, Menteri memiliki kewenangan mengatur, sedangkan dalam konstitusi, Menteri berwenang bukan mengatur. Selain itu, lebih lanjut Pemohon menguraikan, ketentuan Pasal 40 ayat (1), ayat (2a), ayat (2b) UU ITE, telah memberikan pendapat berbeda terhadap penerapan atau penggunaan UU secara "hierarki" UU LLAJ kedudukannya setara dengan UU ITE. Pasal a quo menjadi dasar timbulnya Peraturan Menteri Nomor 108 Tahun 2017 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2016 dan juga Peraturan Menteri 26 Tahun 2016 ini merupakan perubahan dari Peraturan Nomor 32 Tahun 2016.
Secara materi, lanjut Marganti, ini sangat memengaruhi mereka yang berprofesi sebagai pengojek konvensional yang menunggu secara mangkal di suatu pangkalan di perumahan. Keberadaan angkutan daring ini, ia hampir setiap hari tidak dapat penumpang karena ongkos mereka lebih mahal dibanding ongkos ojek daring. Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunya kekuatan hukum mengikat. (Arif Satriantoro/LA)