Kompetisi Peradilan Semu Konstitusi Piala Ketua MK dan Seminar Nasional yang rutin diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi bekerja sama dengan Universitas Tarumanagara secara resmi dibuka. Kegiatan tersebut dibuka oleh Sekjen MK M. Guntur Hamzah didampingi oleh Kepala Biro Humas dan Protokol MK Rubiyo, Rektor Universitas Tarumanagara Agustinus Purna Irawan serta Dekan Fakultas Hukum Untar Amad Sudiro, di Auditorium Universitas Tarumanagara (UNTAR), Jakarta, Kamis (25/10).
Dalam pembukaannya, Guntur menilai dalam kerja sama dengan Untar, memiliki visi dan tujuan yang selaras, yakni sama-sama berupaya meningkatkan kualitas pendidikan tinggi hukum dan membangun kesadaran berkonstitusi warga negara. “Melalui keikutsertaan dalam kompetisi peradilan semu semacam ini, para peserta akan mendapatkan pembelajaran berharga, terutama bagaimana memahami proses dan praktik persidangan untuk memperjuangkan hak-hak konstitusional warga negara,” ujarnya.
Guntur meyakini seluruh tim menginginkan menang dan menjadi juara. Namun bukan soal kalah atau menang. “Bagi saya, the key is not the will to win, everybody has that. It is the will to prepare to win that is important. Kuncinya bukan pada kemauan untuk menang, setiap orang memiliki kunci tersebut, yang terpenting ialah kehendak untuk mempersiapkan kemenangan,” terangnya.
Dalam pandangannya, Guntur menilai isu dalam seminar nasional mengenai kebiri kimia ini sangat relevan, menarik, dan penting untuk didiskusikan. Bahkan, hukuman kebiri kimia masih mengundang perdebatan, terutama dikaji dari berbagai perspektif, termasuk tentu saja perspektif konstitusi. ”Pertanyaan besar yang kerap muncul ialah, apakah penentuan kebijakan sanksi kebiri kimia melanggar HAM yang dijamin oleh konstitusi? Atau, pertanyaan lain yang lebih umum misalnya, bagaimana konstitusionalitas norma kebiri ilmiah?” jelasnya.
Lebih lanjut, tindakan kebiri kimia berpotensi besar melanggar HAM karena dipandang tidak manusiawi. Banyak kalangan mengatakan, hukuman kebiri masuk dalam kategori kejam, merendahkan martabat manusia, dan corporal punishment atau hukuman badan ala jahiliah. Lalu, Guntur mengatakan, dalam konteks UUD 1945, kebiri kimia bertentangan dengan karakter HAM yang bersifat non derogable human rights atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Padahal pada sisi lain, dalam kondisi tertentu negara boleh membatasi, mengurangi bahkan mencabut HAM yang melekat kepada seseorang berdasarkan undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sementara, Kepala Biro Humas dan Protokol MK, Rubiyo, menyampaikan bahwa kompetisi ini merupakan Kompetisi Peradilan Semu Konstitusi Tingkat Nasional Piala Ketua Mahkamah Konstitusi Tahun 2018 yang ke-5 dan menjadi kegiatan tahunan MK. “Artinya, selama lima tahun ini, kegiatan kompetisi ini seperti sudah menjadi kegiatan tahunan wajib. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa kerja sama Mahkamah Konstitusi dengan Universitas Tarumanagara dapat dikatakan produktif, efektif, dan berhasil,” tegasnya di hadapan para finalis dari 12 perguruan tinggi se-Indonesia.
Seminar Nasional
Di hari yang sama, dalam rangkaian acara pembukaan Kompetisi Peradilan Semu Konstitusi, juga diadakan Seminar Nasional dengan tema “Kebiri Kimia dalam Perspektif Konstitusi dan Hukum Pidana”. Pembicara pertama, Maruarar Siahaan, menyatakan bahwa kebiri kimia dilihat dari perspektif konstitusi, sesungguhnya masih membutuhkan data dan penelitian yang lebih komprehensif untuk dapat menarik suatu kesimpulan mengenai landasan konstitusionalnya cukup sah. Selain itu, interpretasi dan konstruksi atas nilai dan prinsip-prinsip konstitusi yang termuat dalam UUD 1945 dalam segala aspeknya belum dapat diambil suatu kesimpulan, mengenai penerimaan secara konstitusional kebijakan kebiri kimia.
Syaiful Bakhri, pembicara kedua, mengatakan penyelesaian persoalan kejahatan seksual ini menjadi tugas utama kepolisian. Syaiful menuturkan, kepolisian harus melakukan penyidikan, mengumpulkan bukti kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan yang sering menimpa perempuan dan anak-anak.
Dengan kata lain, setiap kasus kejahatan seksual harus ditangani dengan serius yang kemudian berlanjut dalam proses peradilan. Menurutnya, hukuman terberat dari proses peradilan adalah hukuman mati.
Selain itu, Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia Dokter Wimpie, Ikatan Dokter Indonesia menolak kebiri kimiawi dikarenakan tidak sesuai dengan etika kedokteran. Karena jika hal itu dilakukan maka manusia tersebut akan mengalami komplikasi pada kesehatannya. Namun apabila UU yang menyuruh dokter tertentu untuk melakukan kebiri kimiawi, maka dokter tersebut akan melaksanakan hal tersebut karena telah diatur oleh UU. Lebih lanjut, meskipun gairah seksual bisa ditekan, namun memori pengalaman seksual tidak bisa dihapus.
“Tidak pernah ada laporan yang menunjukkan bahwa kebiri kimia memang lebih memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual dibandingkan hukuman lain yang cukup berat. Karena pengalaman seksual sebelumnya kan sudah terekam di otak. Keinginan dia kan masih ada, terlepas dari apakah dia mampu atau tidak,” kata Wimpie.
Sementara, menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengaku telah mengusulkan kebiri kimiawi bagi pelaku kejahatan seksual pada anak, sejak empat tahun yang lalu, sebagai hukuman pemberat. “Kasus tertentu yang tidak hanya sekali, tetapi ada pertimbangan yang berulang-ulang, korbannya banyak dan tidak berlaku untuk pelaku yang anak-anak, hanya untuk orang dewasa, itu jadi pertimbangan hakim perlu hukuman pemberat atau tidak,” jelas Arist.
Arist, lanjutnya, menyatakan kebiri kimia ini dapat diterapkan sebagai terobosan hukum oleh hakim, selama belum ada revisi undang-undang. Atau jika dirasa mendesak, pemerintah dapat menerbitkan peraturan pengganti undang-undang atau perppu sebagai bentuk keadilan bagi anak. (Bayu Wicaksono/LA)