Ketika pasangan calon harus diajukan sebelum Pemilu sebagaimana perintah UUD 1945, tidak mungkin bagi seorang pemilih pemula untuk sudah atau telahterlibat dalam pengajuan pasangan calon dimaksud. Apalagi dengan status yang dikehendaki Pemohon adalah terlibat sebagai pemilih partai politik pengusung. Hal demikian bertolak belakang dengan status yang didalilkan Pemohon sendiri, sebagai pemilih pemula pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang. Apalagi jika hak pilih Pemohon baru diperoleh mendekati hari pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto membacakan pendapat Mahkamah dalam sidang Putusan Perkara 58/PUU-XVI/2018, Kamis (25/10). Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, meskipun dalil Pemohon secara selintas terlihat sebagai kerugian konstitusional yang diakibatkan oleh Pasal 222 UU Pemilu, namun menurut Mahkamah hal yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu bukan merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 dan tidak terbukti menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.
“Pendapat Mahkamah demikian didasarkan juga pada argumentasi bahwa dalam Pemilu 2019 tidak dapat dipastikan bahwa Pemohon akan memilih yang sama antara partai politik dalam pemilihan umum anggota DPR dan memilih partai politik yang mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden,” papar Aswanto.
Mahkamah berpendapat, berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon karena Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilihan umum, maka hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dimiliki oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum dan secara tidak langsung dimiliki oleh pemilih yang telah menggunakan hak pilih pada pemilihan umum sebelumnya yaitu Pemilu 2014 dan hasil perolehan suara partai politik pada Pemilu 2014 dipergunakan sebagai rujukan penghitungan presidential threshold Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019.
Dalam perkara a quo, menurut Mahkamah, karena Pemohon tidak bertindak sebagai partai politik dan bukan pula pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014, melainkan Pemohon mendalilkan sebagai pemilih pemula atau dengan kata lain Pemohon belum pernah menggunakan hak pilih pada Pemilu 2014. Sehingga menurut Mahkamah Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon ternyata tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, permohonan yang diajukan Muhammad Dandy tidak dapat diterima.
Tidak Ada Status Badan Hukum
Sementara itu, terhadap permohonan Perkara Nomor 61/PUU-XVI/2018 yang diajukan Ketua Umum Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen Sri Sudarjo, Mahkamah juga memutuskan untuk tidak dapat diterima. Mahkamah berpendapat, esensi dari pendaftaran badan hukum partai politik pada kementerian sebagai lembaga pemerintah adalah untuk menegaskan adanya prinsip publisitas berkaitan dengan kelembagaan struktur kepengurusan yang harus bersifat nasional.
Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pendapat Mahkamah, menegaskan bahwa adanya pengakuan secara sah oleh pemerintah akan mendapatkan jaminan kepastian hukum yang keberadaannya dilindungi konstitusi dalam negara demokrasi konstitusional serta menjadikan partai politik sebagai lembaga formal yang dapat menjadi penghubung setiap warga negara dalam menyampaikan aspirasi poltiknya untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan bangsa. Terlebih dalam perspektif sebagai lembaga formal yang keberadaannya diakui oleh negara partai politik memiliki peran dan posisi yang amat strategis dan oleh karenanya di dalam konteks demokrasi prosedural maupun substansial penting menempatkan aktor politik utamanya yang cerdas dalam merumuskan kepentingan (interest articulation) dan menggabungkan atau menyalurkan kepentingan (interest aggregation).
Mahkamah berpendapat, dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, mengingat salah satu syarat untuk mendirikan partai politik harus didaftarkan pada kementerian untuk mendapatkan status badan hukum dan alat bukti dimaksud tidak dapat ditunjukkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo. Menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon yang menganggap dirinya sebagai partai politik mengalami kerugian konstitusional, sehingga dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang diajukan pengujian dalam permohonan a quo tidaklah beralasan menurut hukum. Apalagi berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden suatu partai politik atau gabungan partai politik haruslah menjadi peserta pemilu.
Oleh karenanya Mahkamah menegaskan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo. Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. (Nano Tresna Arfana/LA)