Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Menetapkan, mengabulkan penarikan kembali permohonan. Menyatakan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya pada sidang pengucapan putusan, Kamis (25/10).
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 10 Juli 2018 yang diajukan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang diwakili Hary Tanoesoedibjo dan Ahmad Rofiq selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Perindo. Terhadap permohonan Nomor 60/PUU-XVI/2018 tersebut, Mahkamah telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pada 18 Juli 2018. Kemudian berlanjut dengan sidang perbaikan permohonan pada 30 Juli 2018.
Namun Mahkamah telah menerima surat penarikan permohonan dari Pemohon bertanggal 16 Agustus 2018 perihal permohonan Perkara Nomor 60/PUU-XVI/2018 yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada 16 Agustus 2018. Terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.”
Kemudian Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK pada 26 September 2018 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan nomor 60/PUU-XVI/2018 beralasan menurut hukum dan sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) UU MK, “Penarikan kembali suatu permohonan mengakibatkan permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali.”
Perindo selaku Pemohon melakukan uji materiil terhadap Pasal 169 huruf n UU Pemilu ke MK. Pemohon mendalilkan bahwa proses pengajuan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam satu pasangan terkendala dengan adanya frasa “tidak berturut-turut” penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu, dikarenakan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah pernah menjabat sebagai wakil presiden pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2009.
Pemohon mendalilkan, rumusan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengatur bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat dipilih kembali setelah menyelesaikan masa jabatan pada periode sebelumnya selama belum dan atau tidak dua kali berturut-turut pada jabatan yang sama. Tujuannya agar kandidat terbaik akan mengikuti kontestasi pemilu presiden dan wakil presiden tidak terhalang oleh ketentuan dua kali masa jabatan presiden dan atau wakil presiden, melainkan tetap dapat maju sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden sekalipun telah menjabat selama dua periode berturut-turut asalkan terdapat jeda antara dua periode berturut-turut dengan pencalonan berikutnya.
Kehadiran frasa “tidak berturut-turut” dalam rumusan penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu, menurut Pemohon, menjadi tanda tanya mengapa rumusan frasa tersebut justru mengandung tafsiran yang tidak sejalan dan sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945 bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung terpasung oleh penjelasan pasal yang memberi batas periodesasi atau masa jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya dibatasi untuk menjabat dalam jabatan yang selama dua kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut adalah tidak relevan. (Nano Tresna Arfana/LA)