Sidang pendahuluan uji materiil Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk nomor perkara 86/PUU-XVI/2018 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (24/10) siang. Pemohon adalah Alungsyah diwakili kuasa hukumnya Iqbal Tawakal Pasaribu.
“Norma dalam Undang-Undang MK telah menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Iqbal kepada Wakil Ketua MK Aswanto selaku pimpinan sidang, didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Pemohon yang berprofesi sebagai advokat, melakukan pengujian Pasal 55 UU No. 24/2003 yang berbunyi, “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai adaputusan Mahkamah Konstitusi.”
Dijelaskan Iqbal, Pemohon sempat mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung, namun uji materiil tersebut harus mengalami penundaan atas dasar pemaknaan terhadap frasa “Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut” dalam pasal a quo. Adanya frasa undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut masih menyisakan persoalan konstitusionalitas karena tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pencari keadilan yang melakukan uji materiil ke Mahkamah Agung.
“Persoalan konstitusionalitas tersebut ditimbulkan dari norma a quo ketika pemaknaan penafsiran frasa undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut dalam norma a quo dimaknai secara keseluruhan sebagai alasan yang dianggap cukup untuk menunda tanpa melihat keterkaitannya, materi muatan pasal, ayat, dan atau bagian dalam undang-undang,” urai Iqbal.
Pemohon menilai bahwa norma yang sedang Pemohon ujikan ke Mahkamah Agung tidak memiliki keterkaitan dengan norma yang sedang diujikan di Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu penundaan tersebut dianggap telah merugikan. Selain itu Pemohon berdalih memiliki alasan konstitusional yang berbeda atau tidak nebis in idem. Hal ini dapat terlihat pada Putusan MK Nomor 74/PUU-X/2012 yang pada pokoknya menyatakan permohonan Pemohon ditolak, karena dalil yang menyatakan Pasal 55 UU MK bertentangan dengan Pasal 24 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum.
Pemohon juga merujuk Putusan MK Nomor 79/PUU-XV/2017 yang pada pokoknya menyatakan menolak permohonan, karena dalil Pemohon yang meminta agar norma Pasal 55 UU MK ditambah dengan frasa “yang mengikat Mahkamah Agung” sehingga rumusan normanya menjadi “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib ditunda pemeriksaannya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat Mahkamah Agung.”
Termasuk juga merujuk Putusan MK Nomor 93/PUU-XVI/2017 yang pada pokoknya mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Pemohon meminta kata “dihentikan” dalam norma Pasal 55 UU MK dinyatakan konstitusional bersyarat sehingga dimaknai menjadi “ditunda pemeriksaannya” dengan alasan agar memberikan kepastian hukum terhadap proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Ketidakpastian Hukum
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Wakil Ketua MK Aswanto selaku pimpinan sidang menyoroti uraian Pemohon dalam permohonan terkait ketidakpastian hukum. “Ketidakpastian hukum itu menurut saya perlu dielaborasi. Sehingga ada gambaran bahwa ketidakpastian hukum itulah yang menyebabkan kerugian spesifik. Jadi ini yang menurut saya perlu dilengkapi,” tambah Aswanto.
Sementara itu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta alasan Pemohon bertindak selaku perorangan kemudian memberikan kuasa kepada firma hukum tempat Pemohon bekerja. “Mengapa tidak sekaligus firma hukum tempat Pemohon bekerja bertindak selaku Pemohon? Karena bentuk kerugiannya mungkin lebih jelas. Meskipun Mahkamah juga harus menilai nantinya, apakah kerugian itu bersifat konstitusional atau tidak,” ucap Wahiduddin.
Wahiduddin juga mencermati soal Pemohon sering mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung dengan membawa Bukti P-7. “Majelis perlu mengkonfirmasi, apakah Pemohon pernah ditolak dalam pengajuan perkara hak uji materiil di Mahkamah Agung karena Pasal 55 Undang-Undang MK. Mungkin sudah ada sedikit gambaran, tapi apakah pernah? Meskipun ini menjadi implementasi,” tandas Wahiduddin.
(Nano Tresna Arfana/NRA)