Ketentuan Pasal 146 Ayat (1) huruf c butir a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (UU PT) tidak memberikan pemaknaan pembatasan hak bagi pemegang saham dalam hal memberikan laporan pembuktian kenonaktifan perseroan yang tidak melakukan usaha selama tiga tahun atau lebih pada instansi pajak. Seandainya pasal tersebut dimaknai hanya direksi saja atau pemegang saham saja atau dewan direksi saja, maka hal tersebut bertentangan dengan batang tubuh pasalnya, apalagi jika perseroan tutup, maka tidak ada hak direksi lagi. Demikian keterangan yang disampaikan Ahli Hukum Tata Negara A.S. Natabaya yang dihadirkan Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian UU PT di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (24/10).
Lebih lanjut Natabaya menjabarkan bahwa pembubaran perseroan dapat terjadi berdasarkan beberapa alasan, di antaranya adanya keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), jangka waktu berdiri sebuah perseroan dalam AD/ART telah berakhir, adanya penetapan pengadilan, dicabutnya kepailitan perseroan, atau dicabutnya izin perseroan. Dalam hal terjadinya pembubaran perseroan, wajib dikuti oleh likuidator dan perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka likuidasi. “Jadi, terhadap pasal a quo pemegang saham dapat membubarkan perseroan, saya sependapat dengan pengadilan negeri yang pada pokoknya berpendapat jika pemegang saham lebih dari satu cukuplah pembubaran diajukan oleh salah seorang pemegang saham. Ini adalah jalan keluar terbaik dan bagian dari sebuah alternatif,” kata Natabaya yang pernah menjabat sebagai Hakim Konstitusi Periode 2003–2008.
Hak pemegang saham
Pada kesempatan yang sama Ahli Hukum perseroan Siti Anisah yang merupakan dosen dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dalam keterangannya pun menjelaskan bahwa pemegang saham berhak untuk mengajukan permohonan pembubaran perseroan dan menyerahkan surat pemberitahuan pembubaran perseroan ke instansi pajak sebagai bukti. Menurut Siti, dalam sebuah perseroan pemegang saham berhak memeroleh kepastian hukum dengan adanya prinsip pemisahan kepribadian dan prinsip pemisahan kekayaan perusahaan.
Prinsip pemisahan kepribadian merupakan hal mendasar dalam perusahaan berbadan hukum. Ini merupakan dasar bagi entitas yang berbeda dari pendiri perseroan dan pemegang saham. Implikasi ini adalah kewajiban dan tanggung jawab yang terbatas oleh pemegang saham atau pendiri dalam menyetorkan modalnya. Berikutnya dalam prinsip pemisahan kekayaan perusahaan dibutuhkan untuk mengakomodasi kelompok atau menjadi stimulasi utama dari pembentukan perusahaan. “Jadi pemegang saham diberi hak litigasi yaitu hak minta ganti kerugian sehingga dapat melakukan gugatan apabila perusahaan dalam keadaan tertentu, termasuk pailit atau diindikasikan bubar,” tegas Siti dihadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Sebelumnya, Pemohon menyampaikan Pasal 146 Ayat (1) huruf c butir a UU PT telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi perseroan yang tidak melakukan usaha selama tiga tahun atau lebih karena tidak memberikan kepastian mengenai pihak mana yang berhak untuk membuktikan kenonaktifan tersebut dengan menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi pajak. Atau hak tersebut, hanya diberikan kepada satu pihak saja atau juga diberikan kepada semua pihak seperti disebutkan dalam pasal tersebut, yaitu pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris. Dalam pandangan Pemohon, pasal tersebut juga bertentangan dengan substansi dan norma yang terkandung dalam redaksi pasalnya karena berpotensi hanya memberikan keuntungan atau hak kepada satu pihak saja untuk membubarkan sebuah PT. Oleh karena itu, Pemohon meminta Majelis menyatakan norma tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa surat pemberitahuan suatu perseroan terbatas tidak melakukan kegiatan usaha atau nonaktif selama tiga tahun atau lebih yang disampaikan kepada instansi, pajak, dapat disampaikan Pemohon menunggu kabar oleh direksi, pemegang saham, atau dewan komisaris dari perseroan tersebut. (Sri Pujianti/NRA)