Aturan mengenai lembaga yang berwenang untuk memeriksa laporan keuangan dana pensiun merupakan kewenangan pemeriksaan dengan tujuan pembinaan dan pengawasan lembaga keuangan dana pensiun secara umum oleh Undang-Undang Dana Pensiun (UU Dana Pensiun) diberikan kepada Menteri Keuangan. Saat ini dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa 4 Keuangan (Undang-Undang OJK), kewenangan tersebut telah beralih kepada OJK.
Demikian disampaikan oleh Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan RI Tio Serepina Siahaan dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (UU Dana Pensiun) yang digelar pada Selasa (23/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Serepina juga mengungkapkan Pemerintah berpendapat hak konstitusional Pemohon tidak dirugikan dengan adanya norma yang diuji dalam perkara permohonan a quo. Hal tersebut karena permohonan a quo, pada pokoknya tidak mempermasalahkan bunyi norma-norma yang diminta untuk diuji, namun hanya mempermasalahkan implementasi praktis dari norma dimaksud. “Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa adanya norma-norma tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan menimbulkan kerugian konstitusional Pemohon,” jelas Serepina di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Serepina juga menjelaskan pemeriksaan audit yang dilakukan oleh BPK dikarenakan adanya permintaan dari Kejaksaan Agung RI, guna menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara dalam pemeriksaan terhadap Pemohon. Kewenangan BPK, lanjutnya, dalam menentukan kerugian negara telah sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 31/PUUX/2012 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016. “Atas dasar tersebut, sangatlah berdasar hukum apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan a quo secara bijaksana menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” terangnya.
OJK atau Akuntan Publik
Selain itu, Serepina mengungkapkan setiap pengelola dana pensiun wajib melakukan pelaporan dengan telah melalui audit keuangan. UU Dana Pensiun memberikan pilihan pada OJK apakah melakukan audit keuangan secara langsung atau meminta lembaga jasa keuangan nonbank untuk melakukan audit. Sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 11/POJK.05/2014, pihak OJK dapat melakukan audit dengan tim yang terdiri dari pegawai OJK, pihak lain yang ditunjuk OJK, atau gabungan keduanya. Lebih lanjut, Serepina menyampaikan bahwa dalam rangka pemeriksaan, Pemohon pada permohonannya meminta agar UU a quo dimaknai sebagai lembaga yang berwenang untuk memeriksa laporan keuangan dana pensiun adalah akuntan publik. Terhadap hal ini Pemerintah berpendapat bahwa akuntan publik dapat melakukan pemeriksaan apabila ditunjuk OJK dalam urusan tersebut. Dengan memaknai penunjukan akuntan publik tersebut, maka OJK merupakan lembaga yang tetap berperan sebagai pembina dan pengawas dana pensiun.
“Namun kedudukan akuntan publik akan menggantikan fungsi OJK jika memang ditunjuk untuk melakukan audit keuangan terhadap dana pensiun, kalau tidak ditunjuk berarti itu akan menghambat tugas OJK. Jadi, kewenangan melakukan pemeriksaan itu perlu dari OJK untuk menjamin manfaat nyata bagi masyarakat dalam menghadapi masa purnabakti,” urai Serepina.
Dengan demikian, tambah Serepina, norma a quo tidak bersifat multitafsir karena akuntan publik yang melakukan audit bertujuan memberikan keyakinan kewajaran terhadap laporan keuangan dan bukan untuk memberi kepastian hukum. Tak hanya itu, Serepina juga menjabarkan bahwa Penjelasan Umum UU Dana Pensiun ditujukan untuk dilakukannya pengelolaan dana pensiun yang berasal dari iuran pemberi kerja dan pegawai yang bersangkutan. Dengan ini sangat memungkinkan terbentuknya akumulasi dana yang kemudian kebermanfatannya melahirkan ketenangan bagi pegawai pada masa tua. Bahwa dana ini berperan sebagai sumber dana yang berlandaskan kemampuan sendiri untuk memelihara pembangunan nasional, yaitu peningkatan sumber pembangunan dalam negeri termasuk pengelolaan dana pensiun.
“Salah satunya lagi adalah untuk masyarakat mempersiapkan masa purnabakti. Oleh karenanya, UU a quo sangat dibutuhkan serta diharapkan membawa pertumbuhan dana lebih sehat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” jelas Serepina yang hadir didampingi Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkum HAM RI Ninik Hariwanti selaku tim wakil dari Pemerintah.
Sebelumnya, Muhammad Helmi Kamal Lubis yang merupakan perseorangan warga negara mendalilkan mengalami kerugian yang bersifat spesifik dan aktual atas pemberlakuan Pasal 14 juncto Pasal 52 ayat (1) huruf a dan ayat (4) UU Dana Pensiun yang mengatur mengenai lembaga yang berwenang untuk memeriksa laporan keuangan dana pensiun. Menurut Pemohon perkara Nomor 59/PUU-XVI/2018 tersebut, pasal-pasal a quo menimbulkan ketidakjelasan terkait lembaga yang berwenang untuk memeriksa laporan keuangan dana pensiun antara BPK atau akuntan publik.
Pemohon menilai perusahaan Dana Pensiun adalah “objek pemeriksaan” akuntan publik sebagaimana diatur dalam UU Dana Pensiun. Sehingga, secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa Dana Pensiun “bukan” objek pemeriksaan BPK RI. Dengan kata lain, BPK RI tidak berwenang secara konstitusional memeriksa laporan keuangan Dana Pensiun. (Sri Pujianti/LA)