Sidang perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang teregistrasi dengan nomor perkara 81/PUU-XVI/2018 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (23/10) siang. Eep Ependi selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan sejumlah perbaikan.
“Yang Mulia, terlebih dahulu para Pemohon hendak menyampaikan bahwa batu uji yang digunakan berbeda dengan Permohonan awal. Semula Pasal 28I ayat (2) menjadi Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sedangkan Pasal 28J ayat (2) masih kami gunakan,” ujar Eep kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Kemudian pada bagian Kewenangan Mahkamah Konstitusi, para Pemohon menambahkan dan me-renvoi dalam halaman 3, Angka 4 yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, bukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. Selanjutnya, pada bagian Kedudukan Hukum, mengenai pasal yang Pemohon uji, pada awalnya diletakkan pada Angka 3, kini pada Angka 1 di halaman 4.
“Selain itu, kami melakukan elaborasi pada argumentasi Pemohon I dan II yang semula menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak telah kami uraikan pada Angka 4, halaman 5 hingga 6. Dilanjutkan pada halaman 6 dan 7, kami memperbaiki argumentasi kedudukan Pemohon III,” jelas Eep.
Dengan demikian, kata Eep, dalam halaman 8 serta 9 permohonan Pemohon tiba pada kesimpulan bahwa para Pemohon mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan atas penyelenggaraan pemilu yang berintegritas dan dihadapkan pada tawaran caleg yang bukan berasal dari mantan terpidana korupsi, serta pemilu menurut para Pemohon adalah sebagai sarana dalam rangka mencegah orang jahat menjadi wakil rakyat.
“Sementara pada bagian alasan permohonan di halaman 10, 11, dan 12, kami memberikan tambahan pengantar pada Angka 1 hingga 5 bahwa sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagai instrumen hukum dan kebebasan individu haruslah berdasarkan rasionalitas, sehingga dalam prosesnya, rakyat haruslah dihadapkan pada tawaran orang yang perbuatannya tidak tercela di antara jutaan orang baik di Indonesia. Bukan dihadapkan pada mantan wakil rakyat pelaku korupsi yang tanpa memiliki rasa malu berpose layaknya seperti aktor-aktor film,” urai Eep.
Para Pemohon juga menegaskan dalam halaman 15, 16, dan 17 permohonan bahwa Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pemilu haruslah dinyatakan bertentangan dengan norma kepastian hukum yang adil dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Keberlakuan pasal tersebut telah memberikan perlakuan yang sama kepada mantan terpidana tanpa mempertimbangkan jenis tindak pidananya. Hal tersebut sama saja memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama.
Sebagaimana diketahui, Muhammad Hafidz, Abda Khair Mufti dan Sutiah diwakili kuasa hukum, Eep Ependi selaku Pemohon menguji konstitusionalitas frasa “mantan terpidana” pada Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu, yang justru apabila tidak dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, dapat mengandung unsur diskriminasi. Dalam pengertian bahwa norma a quo memperlakukan sama seluruh mantan terpidana dengan memberikan peluang untuk mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik, tanpa mempertimbangkan dampak yang dialami oleh perseorangan, kelompok masyarakat atau negara secara luas untuk beberapa tahun kemudian atas akibat perbuatan yang ia lakukan.
Para Pemohon khawatir dengan makin banyaknya pejabat publik yang ditangkap karena melakukan korupsi keuangan negara bersumber pajak masyarakat akan berdampak pada masyarakat itu sendiri, termasuk para Pemohon. Makin lambatnya pertumbuhan ekonomi dan investasi hingga lemahnya daya beli. Akibat semakin tingginya harga kebutuhan bahan pokok, bahkan tidak menutup kemungkinan akan berakibat pada berkurangnya bantuan subsidi dari negara yang selama ini Pemohon III dapatkan dalam bentuk beras dan pangan secara cuma-Cuma.
Terancamnya hak para Pemohon mendapatkan hidup sejahtera lahir dan batin yang diberikan oleh negara akibat dampak korupsi secara luas, bukan karena hanya lemahnya penegakan hukum. Tetapi juga karena ketiadaan pembatasan dalam norma-norma hukum yang seharusnya diatur perundang-undangan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam pemenuhan tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
(Nano Tresna Arfana/LA)