Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (17/10) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 79/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Rido Pradana dan Nurul Fauzi dari Lembaga Bantuan Hukum Gerakan Pemuda Ansor.
Salah seorang Pemohon, Rido Pradana menegaskan kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bahwa tidak ada perbaikan permohonan yang diajukan pada sidang sebelumnya. “Jadi kami tetap pada permohonan kami sebelumnya dan tidak melakukan perbaikan, Yang Mulia,” ujar Rido.
Pemohon mengajukan sejumlah alat bukti yang disahkan oleh Panel Hakim. Enny pun menegaskan bahwa permohonan tersebut akan dilanjutkan ke Rapat Permusyawaratan Hakim, nantinya akan diberitahukan oleh Pemohon lebih lanjut. “Kalau begitu, bukti P-1 dan P-4 saya sahkan terlebih dahulu. Kemudian, dari Majelis, ada yang mau ditanyakan? Tidak ada? Baik. Kalau tidak ada yang disampaikan dari Panel Majelis, maka kami nanti akan menyampaikan apa yang sudah berlangsung dalam proses sampai hari ini kepada Pleno RPH. Dan kemudian kita akan lihat, bagaimana tindak lanjut dari laporan itu. Sehingga nanti kepada Saudara berdua silakan menunggu pemberitahuan lebih lanjut,” kata Enny.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan beberapa ketentuan dalam UU Advokat berpotensi merugikan hak-hak para Pemohon. Ketentuan tersebut memang pernah diajukan judicial review oleh Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi. Namun Pemohon menilai terdapat beberapa perbedaan, membuat permohonan yang diajukan ini tidak nebis in idem.
Pemohon menunjukkan Putusan MK Nomor 19/PUU-I/2003 yang menguraikan permohonan Pemohon. Ketika itu Pemohon mendalilkan Pasal 3 ayat (1) huruf d menimbulkan diskriminasi bagi para lulusan sarjana hukum berusia 21 atau 22 tahun, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Kemudian Pemohon mengajukan permohonan kedua terhadap Undang-Undang Advokat pada 2015 dan dikeluarkan Putusan Nomor 84/PUU-VIII/2015. Pemohon saat itu mendalilkan norma Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang Advokat menimbulkan diskriminasi dan ketidakpastian karena tidak terdapat syarat maksimal untuk menjadi seorang advokat.
Sedangkan permohonan yang diajukan kali ini adalah bahwa Pemohon mendalilkan bahwa norma Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang Advokat menimbulkan diskriminasi bagi para Pemohon untuk menjadi seorang advokat dan menghambat para Pemohon untuk memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja sebagai seorang advokat, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Selain itu para Pemohon mendalilkan norma Pasal 3 ayat (1) huruf g Undang-Undang Advokat telah menimbulkan ketidakpastian bagi para Pemohon umenjadi seorang advokat, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. (Nano Tresna Arfana/LA)