Ketentuan mengenai larangan menuntut advokat sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) disusun untuk menjaga dan melindungi profesi advokat. Jika ketentuan a quo tidak dicantumkan, maka justru akan menimbulkan potensi-potensi contempt of court di luar pengadilan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Ninik Hariwanti mewakili Pemerintah dalam sidang uji materiil UU Advokat yang teregistrasi dengan Nomor 52 dan 56/PUU-XVI/2018 tersebut.
Ninik menambahkan terhadap dalil para Pemohon yang menganggap tidak memberi rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan serta merendahkan profesi advokat, Pemerintah menilai dalil tersebut yang tidak beralasan hukum. Pemerintah menilai para Pemohon sebagai seorang berprofesi sebagai advokat dapat menentukan perbuatan yang beritikad baik dan perbuatan yang tidak beriktikad baik.
“Sehingga dalam menjalankan tugasnya, mempunyai sikap dan kepercayaan yang tinggi karena dirinya adalah seorang yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menegakkan keadilan berdasarkan hukum. Implementasi dari ketentuan Pasal 16 selain memberikan perlindungan hukum, melindungi provisi, officium nobile, juga dikuatkan dengan hak-hak advokat,” jelas Ninik di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Selain itu, Ninik menyebut jika pasal yang diuji dikabulkan, maka akan berpotensi merusak sistem hukum pidana karena tidak beralasan menurut hukum. “Secara proses pemanggilan dan permintaan keterangan sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana umum telah menjadi kewenangan polisi atau jaksa yang diberikan berdasarkan undang-undang yang didasarkan pada ketentuan hukum pidana,” tegasnya.
Ninik pun menguraikan mengenai Dewan Kehormatan Profesi Advokat (DKOA) yang dipermasalahkan Pemohon. Ia menilai DKOA hanya diberikan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili profesi advokat berdasarkan kode etik yang dimilikinya. Sedangkan, kode etik yang ditegakkannya dapat berbeda-beda antara kode etik yang dimiliki organisasi advokat satu dengan organisasi advokat yang lain.
“Perbedaan karakteristik tersebut telah menggambarkan adanya perbedaan tingkat pengaturan dan tingkat kewenangan yang secara norma-norma hukum tidak dapat dipersamakan antara tingkat kewenangan penegakan peraturan secara umum dan penegakan peraturan secara internal,” jelasnya.
Dalam permohonannya, Pemohon menitikberatkan persoalan mengenai pihak yang berwenang dalam menilai itikad baik advokat sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 UU Advokat. Menurut Pemohon, Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (DKOA) merupakan satu-satunya lembaga yang berhak menilai itikad baik advokat secara objektif. Artinya, ada mekanisme yang harus ditempuh yakni melalui pemeriksaan DKOA sebelum kemudian dikeluarkan persetujuan apabila dalam pemeriksaan terbukti melakukan tindakan atau perbuatan dalam menjalankan tugasnya tidak berdasarkan itikad baik. Persetujuan DKOA inilah bentuk mekanisme hak imunitas seorang advokat yang sedang menjalankan tugasnya agar terbebas dari ketakutan dan kekhawatiran dari penilaian subjektif dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan (Perdata atau Pidana) yang dilakukan oleh advokat saat sedang menjalankan tugas profesinya dalam membela kepentingan hukum kliennya. Hal ini tentunya juga sebagai bentuk jaminan dan perlindungan serta upaya dalam menjaga martabat dan kehormatan advokat. (Arif/LA)