Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Perpu) di Ruang Sidang Panel MK, Kamis (18/10). Sidang yang teregistrasi Nomor 82/PUU-XVI/2018 ini dipimpin Hakim Kostitusi Enny Nurbaningsih didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul.
Sejumlah sebelas perseorangan warga negara yang terdiri atas mahasiswa dan buruh mengajukan uji materiil Pasal 7 ayat (1) UU Perpu. Pasal tersebut menyatakan, “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,” dan Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Febriditya Ramdhan selaku Pemohon menyampaikan bahwa norma a quo telah mengingkari keberadaan Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia atau norma fundamental negara yang menempati urutan tertinggi di puncak piramida hukum. Ia mendalilkan Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Allgemeine Rechtslehre” mengemukakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis dan berjenjang. Melalui penjelasan tersebut, tambah Febriditya, jelas bahwa pasal a quo bertentangan dan tidak sejalan dengan Pasal 2 UU Perpu yang menyatakan “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara” dan TAP MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila.” Dengan demikian, kedua pasal tersebut menurut para Pemohon berpotensi merugikan hak konstitusionalnya.
“Keadaan hukum menjadi morat-marit penegakannya akibat yang dimaksud di dalam pasal a quo dan Pancasila merupakan cita hukum berfungsi sebagai pedoman dan sebagai tolok ukur dalam mencapai tujuan-tujuan masyarakat yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan,” jelas Febriditya yang hadir dengan beberapa Pemohon lainnya.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan terkait dengan pengujian undang-undang penting bagi para Pemohon untuk memerhatikan kedudukan hukumnya.
“Sebagai perseorangan warga negara dalam pengujian undang-undang, Pemohon harus dapat membuktikan kedudukan hukumnya dengan pemberlakukan norma ini. Nah, ini di mana bukti pertentangannya. Jadi perlu Anda lakukan elaborasi dengan sebaik-baiknya,” jelas Enny.
Senada dengan itu, Hakim Konstitusi Manahan Sitompul pun menegaskan agar para Pemohon melihat dengan saksama kerugian konstitusionalnya yang setidaknya potensial terjadi dengan pemberlakukan pasal a quo. Selain itu, Manahan juga meminta agar para Pemohon menjelaskan perbedaan para Pemohon masuk dalam pihak yang memiliki kedudukan hukum mengajukan perkara a quo. “Apa pembedaannya Anda yang 11 orang ini dapat memiliki kedudukan hukum dibandingkan warga negara secara keseluruhan. Uraikan, sehingga Mahkamah bisa menyimpulkan kerugian yang dialami benar-benar terlihat dialami oleh ke-11 orang ini,” saran Manahan.
Adapun Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta agar para Pemohon mencermati posita dan petitum yang dimohonkan terkait dengan pernyataan Pancasila sebagai peraturan norma tertinggi di atas UUD 1945. Wahiduddin meminta agar para Pemohon menunjukkan pernyataan tersebut dengan meminta terlebih dahulu supaya Pemohon mempelajari sejarah pembentukan UU a quo. “Tidak ada aturan yang menyatakan Pancasila sebagai peraturan norma tertinggi di atas UUD 1945. Apakah itu pendapat Anda atau bagaimana? Jadi, coba buktikan,” jelas Wahiduddin. (Sri Pujianti/LA)