Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI) menguji konstitusionalitas Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Ebit Pardede selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan bahwa pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam perkara yang teregistrasi Nomor 83/PUU-XVI/2018 tersebut, Ebit menyampaikan UU a quo menyatakan keberpihakan kepada para mantan pejabat korupsi yang kejahatannya telah merugikan warga negara Indonesia khususnya para pekerja/buruh, pegawai negeri sipil bergaji kecil, dan pekerja/buruh swasta yang tenaganya hanya diperas. Akibatnya mereka tidak bisa sejahtera akibat korupsi yang merajalela. “Dampak korupsi, buruh tidak sejahtera,” tegas Ebit di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang didamping Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih.
Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyatakan, ”Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Selanjutnya, Hechrin Purba selaku kuasa hukum lainnya menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali dalam rangka membentuk pemerintahan yang bersih tanpa adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. “Jadi, sangatlah menderita pekerja/buruh apabila mantan penjahat korupsi ikut serta pada Pemilu 2019,” sampainya.
Dengan lahirnya UU a quo sangat menciderai rasa keadilan buruh sebagai pemilih pada Pemilu 2019. Buruh yang merupakan kelompok masyarakat yang selalu ikut dalam setiap pemilihan umum berharap anggota DPR RI dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota bisa menjalankan tugasnya tanpa ada korupsi dan menyampaikan aspirasi buruh. “Lalu, mengapa pemerintah memaksa membuat kebijakan mantan penjahat korupsi bisa ikut kembali mencalonkan diri dalam Pemilu 2019?” terang Hechrin.
Untuk itu, Pemohon dalam Petitum meminta agar Mahkamah menyatakan pasal a quo tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa kejahatan extraordinary kejahatan korupsi, kejahatan narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan kejahatan teroris.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjabarkan bahwa Pemohon perlu menjelaskan uraian kedudukan hukumnya. Karena dalam hal ini, Pemohon merupakan badan hukum, yang keberadaannya perlu dibuktikan dengan catatan dari Kemenkum HAM RI. “Jadi, atas dasar apa Mahkamah menerima status Pemohon sebagai badan hukum? Serta dalam anggaran dasar dan rumah tangganya yang bertindak mewakili badan hukum siapa?” tanya Palguna.
Terkait dengan kedudukan hukum tersebut, Palguna juga meminta agar Pemohon menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami dan didalilkan dalam permohonan. Pemohon diharapkan dapat menjabarkan kerugian yang dialami, baik faktual maupun potensial sehingga terlihat hubungan sebab akibat antara pemberlakukan norma a quo dengan terlanggarnya hak konstitusional Pemohon.
Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan agar Pemohon menjelaskan apabila normayang diujikan tersebut dihilangkan apakah artinya semua warga negara dapat mencalonkan diri sebagai anggota legilatif. “Jadi, semua boleh mengajukan diri, baik yang diancam pidana atau tidak dipidana bisa mencalonkan diri. Itu konsekuensinya pahamkan? Padahal nyatanya saudara prihatin kalau koruptor jadi pejabat lagi bisa-bisa korupsi lagi,” terang Arief.
SementaraHakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan terkait asumsi yang disampaikan Pemohon bahwa mantan terpidana korupsi terpilih kembali dalam pemilu mendatang. “Dalam hal ini timbul pertanyaan apabila pasal a quo hilang, bagaimana bisa menilainya bertentangan dengan negara hukum. Justru menimbulkan kekisruhan dalam negara hukum. Karena belum tentu koruptor yang maju tersebut terpilih lagi? Karena masyarakat kita juga sudah cerdas,” ujar Enny.
Di samping itu, Enny meminta Pemohon mempelajari kembali petitum menyatakan pasal a quo tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa kejahatan extraordinary kejahatan korupsi, kejahatan narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan kejahatan teroris. “Apakah maunya dimaknai? Kalau konstitusional konstitusional, bagaimana kaitannnya, bagaimana Anda menguraikan yang dimaksudkan, tetapi ini tidak ada uraian di Posita Anda. Apa korelasinya?” tanya Enny.
Sebelum menutup persidangan, Palguna mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 6 November 2018 pukul 10.00 WIB. (Sri Pujianti/LA)