Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) pada Rabu (17/10) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang dimohonkan 36 orang perseorangan warga negara yang terdiri atas dosen, pensiunan dosen, dan guru besar bidang kedokteran ini melalui Muhammad Asrun selaku kuasa hukum menyampaikan beberapa hal perbaikan permohonan terutama yang berhubungan dengan pembeda permohonan dengan pengujian UU Praktik Kedokteran dalam perkara terdahulu.
Terhadap sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto ini, Asrun menguraikan beberapa kerugian yang dialami beberapa Pemohon terkait dengan pemberlakuan norma a quo. Asrun menyebutkan bahwa Pemohon 7, 11, dan 27 yang menjalankan praktik dokter umum merasa dirugikan dengan pemberlakukan UU a quo. “Karena seharusnya tidak ada kologium bagi dokter umum, yang ada adalah kologium bagi spesialis. Jadi, pemberlakuan norma a quo jelas merugikan hak konstitusionalitas Pemohon,” tegas Asrun.
Di samping itu, Judilherry Justam selaku Pemohon prinsipal yang hadir juga menambahkan bahwa alasan permohonan Pemohon mengutip Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017 tentang UU Praktik Kedokteran karena pihaknya menilai sejak diputuskannya perkara a quo, pihak yang seharusnya menjalankan amar putusan belum menjalankan atau dengan kata lain tidak mematuhi putusan tersebut.
“Jadi, kalau pada perkara sebelumnya yang menguji Pasal 1 angka 12 itu dikaitkan dengan penjelasan pasalnya. Pada permohonan kali ini kami menekankan pada pengertian yang harus dimaknai sebagaimana subtansi dari Putusan MK tersebut terhadap norma a quo. Jadi ini alasan berikutnya mengapa kami mengajukan pengujian norma ini,” jelas Judilherry.
Seperti diketahui, dalam sidang yang teregistrasi Nomor 80/PUU-XVI/2018 tersebut, para Pemohon menyampaikan bahwa Pasal 1 angka 12 dan angka 13 serta Penjelasan Pasal 1, Pasal 29 ayat (3) huruf d serta Penjelasan, serta Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon.Salah satu norma yang diujikan adalah Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran pada pengertian frasa “Ikatan Dokter Indonesia,” Pemohon menilai pasal a quo ditafsirkan secara sempit semata-mata sebagai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) untuk tingkat nasional.Padahal menurut para Pemohon dalam lingkungan IDI terdapat beberapa majelis yang sifatnya otonom, seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Pengertian IDI pada pasal a quo tersebut dinilai menempatkan majelis-majelis tersebut menjadi subordinat dari PB-IDI. Khususnya pula bagi Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) yang berakibat pada kesewenangan PB-IDI untuk campur tangan dalam bidang akademis/pendidikan dokter.
Dampak negatif dari pasal-pasal a quo apabila tidak dikoreksi akan menjadikan PB IDI menguasai atau mengendalikan bidang kedokteran dari hulu hingga ke hilir karena tidak terbinanya mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga dalam lingkungan IDI sebagaimana dipraktikkan senior-senior IDI pada masa-masa tahun 2000-an. Untuk itu, para Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan konstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal yang diujikan. (Sri Pujianti/LA)