Pemekaran wilayah di samping memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga tidak sedikit menyisakan persoalan sosial di tengah masyarakat itu sendiri. Salah satu kasus yang terakhir mengemuka adalah konflik akibat pemindahan ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep), Sulawesi Tengah (Sulteng), yang merupakan wilayah hasil pemekaran Kabupaten Banggai (daratan).
Buntut konflik tersebut, beberapa elemen masyarakat Bangkep dari berbagai latar belakang yang tidak menyetujui pemindahan ibukota, mengajukan permohonan pengujian Pasal 11 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Bangkep (UU No. 51/1999) yang berbunyi: âSelambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak peresmian Kabupaten Banggai Kepulauan kedudukan ibukota dipindahkan ke Salakanâ.
Sejak diresmikannya Kabupaten Bangkep pada 3 November 1999, berdasarkan Pasal 10 Ayat (3) UU No. 51/1999, ibukota Kabupaten Bangkep terletak di Kota Banggai di pulau Banggai. Setelah itu, sejak 2006 Bupati Bangkep telah berkantor dan memindahkan ibukota Bangkep ke Kota Salakan yang terletak di pulau Peleng.
Menurut para Pemohon, pemindahan ibukota Bangkep yang didasarkan pada Pasal 11 UU No. 51/1999, telah merugikan hak konstitusional mereka yang dijamin dalam Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945.
Pada sidang pleno yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (18/3) pagi, kuasa hukum para Pemohon, Arifin Musa, mengatakan, pemindahan ibukota kabupaten dari Kota Banggai ke Kota Salakan tidak sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan merupakan tindakan inkonstitusional. Sebagai akibat dari hal tersebut, kata Musa, para Pemohon telah menjadi korban ketidakpastian hukum dan perlakuan diskriminatif. âBahkan, sebagian Pemohon yang merupakan anggota DPRD Kabupaten Banggai kehilangan pekerjaannya, sebagian lain kehilangan anggota keluarga dan sisanya menjadi terpidana akibat gejolak sosial yang terjadi,â papar Musa.
Namun, anggapan para Pemohon tersebut dibantah oleh Gubernur Sulteng. Melalui keterangan tertulis yang dibacakan oleh Asisten Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Provinsi Sulteng, Rais Lamangkona, Gubernur Sulteng mengatakan bahwa pemekaran wilayah ini telah memberi dampak positif pada masyarakat seperti pelayanan hukum yang lebih mudah serta adanya perkembangan fisik wilayah ditandai dengan dibangunnya beberapa sarana publik.
Ditambahkan pula oleh kuasa hukum para Pihak Terkait (gabungan beberapa elemen masyarakat), Herman T., bahwa pemilihan kota Salakan sebagai Ibukota Kabupaten Bangkep sudah tepat. Menurut Herman, Kota Salakan yang berada di pulau terbesar di wilayah Kabupaten Bangkep memiliki jumlah penduduk terbanyak sehingga bila pusat pemerintahan Bangkep terletakk di sana, akan membuat pelayanan publik menjadi lebih efektif.
Terkait dalil para Pemohon yang menganggap bahwa perpindahan ibukota berdampak pada kerusakan adat, dibantah oleh Basri Sono, Wakil Ketua DPRD Banggai. âDPRD Banggai bersama Bupati Banggai telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai.â jelasnya.
Pendapat tersebut didukung oleh Bupati Bangkep, Irianto Malino. Ia mengatakan, Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan tidak pernah menghentikan kegiatan pengembangan budaya atau adat istiadat. âBahkan dari tahun ke tahun melalui APBD, Pemerintah selalu merespon usulan instansi daerah yang bertalian dengan pelestarian budaya dan adat istiadat,â tegasnya.
Tidak hanya dari kalangan pemerintah dan DPRD Banggai, pengajuan perkara ke MK ini juga disesali oleh lembaga musyawarah adat Banggai. Hukum Tua, salah seorang anggota dewan menteri Raja Banggai yang menjadi pemangku peradilan adat, mengatakan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi bahwa perkara ini telah mengusik ketentraman dan keadaan kondusif dalam masyarakat. Ia juga mengatakan, musyawarah adat Banggai atau seba yang dihadiri oleh para Basalo Sangkap (dewan yang mengangkat raja Banggai) juga memohonkan agar MK membatalkan permohonan ini.
Setelah mendengarkan keterangan para pemohon dan pihak terkait, Majelis Hakim Konstitusi menilai bahwa para Pemohon sebenarnya tidak mempermasalahkan pemekaran wilayah melainkan letak ibukota kabupaten hasil pemekaran sehingga permasalahan konstitusional dalam perkara ini juga dinilai belum jelas. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan kejelasan Pemohon yang menentang pemindahan ibukota ke Salakan sementara beberapa Pemohon yang juga merupakan pimpinan adat ikut menandatangani seba. âSejak Pemeriksaan Pendahuluan, saya belum menemukan apakah memang peranan ibukota itu begitu sentral terhadap keberadaan masyarakat hukum adat?â tanya Palguna kepada para Pemohon.
Pada akhir persidangan, Majelis Hakim Konstitusi mengagendakan akan menggelar satu persidangan lagi guna mendengar keterangan dari Menteri Dalam Negeri mewakili Pemerintah Pusat. âSelanjutnya kita sidang lagi untuk pembacaan Putusan,â kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Jimly Asshiddiqie. (Yogi Djatnika)