Penunjukkan direksi sebagai likuidator oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Hal ini disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang M. Ali Syafa’at yang hadir sebagai Ahli Pemohon dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), pada Rabu (11/10).
Syafa’at menguraikan bahwa direksi adalah wakil atau kepanjangan tangan dari pemegang saham mayoritas yang memutuskan melalui RUPS. Sementara di lain pihak, lanjutnya, di dalam proses likuidasi yang harus memberikan kepastian dan perlindungan hukum, tentu yang harus dilindungi itu tidak hanya pemegang saham mayoritas, tetapi juga kreditur, pekerja, dan pemegang saham minoritas.
“Apabila yang menjadi likuidator adalah direksi, potensi kecurangan karena adanya konflik kepentingan, itu terbuka lebar. Oleh karena itu, jika likuidasi tidak dilakukan oleh orang yang memiliki keterampilan khusus dan ternyata dilakukan oleh orang yang memiliki conflict interest, keputusan, dan kepastian, dan perlindungan hukum yang diharapkan dapat dicapai melalui mekanisme likuidasi yang menjadi tujuan utama dari adanya Undang-Undang PT itu, tidak akan pernah tercapai,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto tersebut.
Aturan Jelas
Syafa’at menambahkan seluruh produk hukum hakikatnya memberikan perlindungan dan kepastian hukum. UU PT secara garis besar menggambarkan proses dari pendirian PT hingga pembubaran PT. Saat proses pembubaran PT, profesi likuidator sangat esensial dan penting. “Jika tak ada aturan jelas kualifikasi yang dapat menjadi likuidator, ini jelas tak memberi kepastian dan perlindungan hukum,” tegasnya.
Menurut Syafa’at, kondisi ini memberikan kerugian secara tidak langsung bagi profesi likuidator, sebab publik melihat profesi likuidator yang tidak memiliki persyaratan khusus. Hal ini berakibat masyarakat memandang sebelah mata profesi likuidator, padahal banyak likuidator yang memiliki keahlian yang mumpuni.
Bersifat Asumtif
Dalam sidang tersebut, DPR yang diwakili Arsul Sani menyebut Pemohon tidak mengalami kerugian dengan berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan Pasal 142 ayat (3) UU PT. DPR berpandangan dalil Pemohon bersifat asumtif, tidak memperjelas secara konkret mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagai likuidator. Asumsi Pemohon yang beranggapan ketiadaan pengaturan mengenai profesi likuidator dalam Undang-Undang PT menimbulkan ketidakpastian hukum adalah tidak beralasan.
“Para Pemohon tidak membuktikan secara konkret mengenai kerugian yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang PT tersebut, tetapi Para Pemohon membandingkan pengaturan likuidator dalam Undang-Undang PT dengan pengaturan kurator dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,” tegas Arsul menanggapi permohonan yang diajukan sejumlah likuidator.
Sebelumnya sejumlah likuidator tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 29/PUU-XVI/2018 tersebut. Pemohon mempermasalahkan ketiadaan persyaratan jelas terkait profesi likuidator. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan ancaman kriminalisasi terhadap profesi Pemohon. Pemohon menyebut kerugian faktual yang dialami adalah banyak likuidator yang bukan Warga Negara Indonesia (likuidator asing) atau lembaga likuidator asing melakukan praktik likuidasi terhadap perseroan-perseroan berbadan hukum Indonesia atau perseroan-perseroan asing yang ada di Indonesia. Di sisi lain, kerugian potensial yang dapat dialami para likuidator adalah tidak adanya perlindungan hukum akibat ketidakjelasan definisi likuidator. Hal ini dinilai menyebabkan profesi likuidator mudah dikriminalisasi. (Arif/LA)