Mahkamah Konstitusi menerima audiensi dari Ombudsman pada Rabu (10/10) di Gedung MK. Dalam kesempatan itu, sejumlah pejabat struktural dan pejabat fungsional MK menerima kunjungan tersebut, di antaranya Panitera Muda I Muhidin; Kepala Biro Humas dan Protokol Rubiyo; Inspektur Tatang Garjito; Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan Kurniasih Panti Rahayu; Kepala Bidang Infrastruktur, Jaringan dan Komunikasi Mula Pospos; serta Kepala Bagian Humas dan Kerja sama Dalam Negeri Fajar Laksono. Kedatangan Ombudsman ini guna untuk mempelajari pelayanan MK terhadap pencari keadilan.
Dalam pemaparan mengenai MK dan wewenangnya, Panitera Muda I Muhidin menjelaskan MK sebagai lembaga peradilan bertindak pasif dengan hanya fokus menerima permohonan. Oleh karena itu, MK berupaya untuk melayani sebaik mungkin para pihak yang berperkara di MK. Salah satu cara yang ditempuh MK agar memudahkan para pihak yang berperkara dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Hal ini dipilih MK sebagai cara untuk membantu para pemohon untuk berperkara yang dibatasi oleh jangka waktu. “Bagaimana agar MK melindungi dengan hak konstitusional pihak yang berperkara. Sistem ini dibangun atas kerja sama antara Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK,” ungkap Muhidin di hadapan beberapa pegawai Ombudsman.
Muhidin menjelaskan beberapa aplikasi yang dirilis MK guna memudahkan pelayanan bagi para pihak berperkara, seperti simpel, tracking perkara, risalah, video conference, dan lainnya. Muhidin mencontohkan fitur simpel dapat diakses dilaman MK (www.mkri.id). Simpel atau sistem informasi penanganan pelayanan elektronik merupakan fitur yang dapat dipergunakan Pemohon untuk mengajukan permohonan online. Keberadaan MK yang hanya terletak di Jakarta, diharapkan tidak menjadi hambatan bagi para pencari keadilan untuk berperkara di MK.
Selain itu, Muhidin menyebut adanya fitur tracking perkara yang dapat membantu para pihak berperkara untuk memantau permohonannya. “Tracking perkara berfungsi untuk melacak perkembangan perkara jadi Pemohon bisa memantau persidangan,” jelasnya.
Eksekusi Putusan
Terkait dengan permohonan Dominikus Dalu yang hadir mewakili Ombudsman membahas mengenai laporan yang masuk ke Ombudsman. Ia menyebut banyaknya laporan yang masuk, namun Ombudsman dibatasi waktu 14 hari untuk menindaklanjuti laporan yang masuk tersebut. “Jadi, kami harus memberitahu laporan itu akan ditindaklanjuti seperti apa. Kami tidak dibatasi seperti halnya di MK. Pada setiap tahapan, kami bisa selesaikan. Jika tidak bisa diselesaikan, maka akan dikeluarkan pada rekomendasi Ombudsman. Tidak banyak rekomendasi tersebut dikeluarkan, namun tidak ada pelaksanaannya,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Fajar Laksono menjelaskan bahwa MK pun tidak memiliki instrumen pengeksekusi putusan. Menurutnya, pelaksanaan putusan menjadi problema yang dialami oleh seluruh MK di dunia. Ia menyebut seluruh putusan MK di dunia bersifat final dan mengikat karena MK merupakan pengadilan tunggal. Proses eksekusi putusan MK, lanjut Fajar, bergantung pada kultur hukum dalam negara tersebut. Ia menyebut sebagai penegak Konstitusi, Mahkamah Konstitusi seharusnya dihormati dan putusannya harus dilaksanakan. “Apalagi salah satu syarat agar sebuah negara menjadi sebuah negara hukum adalah menghormati dan melaksanakan putusan peradilan. Maka, semua kembali kepada kultur hukum,” jelasnya.
Menurut Fajar, hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi lembaga peradilan untuk meningkatkan kultur berhukum di Indonesia. Ia menambahkan meski putusan MK tidak memiliki instrumen dalan pelaksanaannya, namun posisinya sama seperti UUD 1945. “Maka Putusan MK adalah living constitution atau konstitusi yang hidup. Ketika sudah ada respek (dalam kultur berhukum), maka tidak perlu adanya instrumen mengeksekusi putusan MK,” imbuhnya.
Sementara itu, terkait pengaduan yang masuk ke MK, Inspektur Tatang Garjito menjelaskan bahwa pada Februari 2017, telah dibentuk inspektorat melalui Keppres Nomor 65/2017. Inspektorat terbagi menjadi dua, pengawasan keuangan dan pengawasan kinerja di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. “Terkait pengaduan, dialihkan ke Inspektorat. Namun jika terkait dengan hakim konstitusi, Inspektorat bekerja sama dengan Dewan Etik. Kami menyediakan kotak saran, kotak pos, email, medsos, dan juga whistle blowing system (WBS),” jelas Tatang. (Lulu Anjarsari)