Kegiatan acara ICCIS 2018 ditutup dengan penyelenggaran Farewell Dinner Internasional Symposium and Short Course ICCIS 2018 di Candi Ratu Boko, Yogyakarta (4/10). Sekjen MK M. Guntur Hamzah yang menutup acara tersebut menegaskan bahwa meski acara acara International Symposium telah berakhir, para peserta diharapkan dapat terus saling berkomunikasi dan berbagi informasi yang relevan. “Jadikanlah Simposium Internasional ini untuk memperluas jaringan lintas negara,” ujarnya.
Kegiatan ini merupakan salah satu wujud komitmen Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk terus mengembangkan judicial dialogue dan diskursus keilmuan di bidang hukum dan konstitusi, baik antara Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan Mahkamah Konstitusi dari negara lain maupun antara Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan para akademisi dan peneliti dari berbagai kawasan dunia.
Guntur menjelaskan, MKRI selaku Sekretariat Perencanaan dan Koordinasi dari Association of Asian Constitutional Court and Equivalent (AACC), berupaya membina hubungan dan komunikasi yang baik di antara 16 (enam belas) negara anggotanya di kawasan Asia. Tanggung jawab ini juga melekat karena MKRI saat ini menjadi satu-satunya wakil negara dari Asia sebagai Anggota dari the Bureau of the World Conference on Constitutional Justice (WCCJ) dari Venice Commission yang berkedudukan di Venice, Italia.
Perwakilan peserta ICCIS 2018 Pitaksin Sivaroot dari Mahkamah Konstitusi Thailand mengapresiasi atas acara ini. Ia menganggap acara tersebut sangat bagus dan merupakan pengalaman yang baru baginya karena ia dapat berdiskusi mengenai konstitusi yang ada di seluruh negara peserta ICCIS 2018.
Short Course dan Call for Papers Resmi Ditutup
Sebelumnya, pada Selasa-Rabu (2-3/10), MKRI menyelenggarakan Short Course dan Call for Papers yang merupakan rangkaian acara dari The 2nd Indonesian Constitutional Court International Symposium 2018 (ICCIS 2018) yang menghadirkan Ketua MK periode 2013-2015 Hamdan Zoelva. Acara yang berlangsung selama dua hari tersebut ditutup oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Wiryanto.
Wiryanto menyakini bahwa kegiatan internasional ini dapat semakin membuka wawasan dan menambah pengetahuan bagi seluruh peserta. Selain itu, ia juga berharap para peserta dapat saling menjaga hubungan dan komunikasi ke depan, khususnya kepada para peneliti di MKRI.
Pada kegiatan short course, Hamdan Zoelva membahas mengenai Constitutionalism at the Cross Road of : Law, Politics and Society. Ketua MK periode 2013-2015 tersebut menjelaskan bahwa demokrasi modern lahir akibat penyelenggaraan pemerintahan despotik oleh para raja yang memiliki kekuasaan absolut dalam menentukan segala hukum dan kebijakan negara, tanpa melibatkan rakyat. Bahkan rakyat seperti menjadi objek dan tidak memiliki hak dalam menentukan jalannya pemerintahan dan negara.
Demokrasi, lanjut Hamdan, merupakan rule by majority dan memberi kebebasan mengatur atas nama mayoritas. Sementara konstitusi membatasi kebebasan, karena itu lahir prinsip demokrasi konstitusional (constitutional democracy), yaitu demokrasi yang dibatasi oleh konstitusi untuk menghindari demokrasi berubah menjadi tirani oleh mayoritas.
Pada sisi lain, untuk menghindari lahirnya hukum dan konstitusi yang melanggar prinsip- prinsip demokrasi, proses pembentukan hukum, konstitusi dan segala kebijakan negara harus memperhatikan jaminan dan hak kekebasan manusia, harus dibentuk melalui proses yang transparan, mendengarkan pendapat rakyat, mengonsultasikan dengan rakyat, dapat diawasi dan dikontrol oleh rakyat serta memberi wewenang kepada pengadilan untuk membatalkan segala undang-undang dan peraturan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Dengan hubungan timbal balik dan saling melengkapi antara konstitusi dan demokrasi, maka segala kebijakan dan tindakan pemerintah mendapatkan legitimasi, baik legitimasi konstitusi maupun legitimasi rakyat. (Bayu/LA)