Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Anna Triningsih menjelaskan tentang sejarah dan eksistensi lembaga kepada mahasiswa Hukum IAIN Purwokerto. Hal ini dikemukakannya saat menerima kunjungan sejumlah mahasiswa, pada Selasa (9/10).
Saat pemaparan awal, Anna menjelaskan MK berdiri paska reformasi, tepatnya pada 13 Agustus 2003. Dia menyebut berdirinya MK dilandasi amendemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). “Jadi bisa dikatakan MK merupakan produk dari reformasi,” tegasnya di hadapan 47 mahasiswa.
MK, lanjut Anna, memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasar UUD 1945. Kewenangan MK, yaitu menguji undang-undang (UU) terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sementara kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
Kewenangan menguji UU, sebut Anna, titik tekannya pada norma. Jadi, MK tidak menguji implementasi dari suatu UU. Kewenangan menguji UU, kata dia, merupakan perkara yang paling banyak diterima MK. Sementara sengketa kewenangan lembaga negara hingga kini perkara yang masuk masih di bawah 50 perkara. “Untuk kewenangan pembubaran partai politik dan pemakzulan presiden belum ada perkaranya hingga kini,” jelasnya di Ruang Delegasi Gedung MK.
Anna juga menjelaskan mengenai penanganan penyelesaian hasil pemilihan umum, yang terbagi menjadi pemilihan umum dan Pilkada. Namun ke depannya, MK tidak akan menangani sengketa pilkada sebab akan dipegang oleh badan khusus lain terkait ini. “Untuk sementara MK masih memegang sengketa pilkada sebab badan tersebut belum terbentuk,” tegasnya.
Di sisi lain, Anna juga menjelaskan komposisi hakim di MK, yakni terdiri atas sembilan orang hakim konstitusi. Mereka, ujarnya, merupakan representasi tiga cabang kekuasaan negara. “Perinciannya adalah tiga orang diusulkan oleh Presiden, tiga orang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang diusulkan oleh Mahkamah Agung (MA),” jelasnya.
Masuk sesi diskusi, Riska Nur Maharani bertanya apakah tim pansel penyeleksi hakim konstitusi boleh berasal dari pihak yang pernah berperkara di MK. Anna menyatakan MK tidak ikut campur dalam urusan pembentukan pansel, sebab MK sifatnya pasif dan menunggu saja.
“Pansel itu dibentuk oleh presiden dan kita sebatas menerima hasil seleksi hakim dari tim pansel. Secara praktik tidak masalah jika pribadi yang ada di pansel pernah berperkara di MK,” jelasnya.
Mahasiswa lainnya lainnya menanyakan proses pengawasan pada hakim di MK. Anna menyebut adanya dewan etik di MK. Tugasnya mengawasi tindak tanduk serta perilaku hakim. “Masyarakat umum dapat berpartisipasi misal dengan melaporkan hakim yang diduga melanggar etik. Hal ini dilaporkan langsung ke dewan etik,” tegasnya. (Arif/LA)