Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) M. Mahrus Ali mengatakan ada putusan terbaru MK bahwa calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus mundur dari kepengurusan partai politik. Bahwa DPD tidak boleh menjadi pengurus partai politik.
“Karena DPD adalah perwakilan dari masing-masing daerah, bukan perwakilan partai politik. Pertimbangan MK dalam putusan tersebut, akan terjadi perwakilan ganda. Anda itu perwakilan daerah atau perwakilan partai politik? Kalau perwakilan partai politik itu DPR. Sedangkan DPD idealnya tidak menjadi bagian dari partai politik,” ungkap Mahrus Ali saat menerima audiensi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta di Ruang Delegasi Gedung MK pada Selasa (9/10) siang.
Mahrus Ali menegaskan, hal tersebut merupakan Putusan MK atas permohonan uji materi Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pasal tersebut, terdapat frasa "pekerjaan lain" dalam persyaratan pendaftaran calon anggota DPD dalam pasal tersebut. Dalam frasa tersebut tidak dijelaskan secara rinci apakah pengurus partai politik (parpol) diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota DPD.
Menurut MK, ada ketidakpastian hukum terkait tak adanya penjelasan atas frasa "pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, atau hak sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan" dalam pasal tersebut. MK menyatakan dalam amar putusannya, ada kemungkinan pengurus parpol terdampak keputusan tersebut. Terkait hal ini, MK menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat memberikan kesempatan bagi pengurus parpol untuk mengundurkan diri dari keanggotaannya di partai.
Lebih lanjut, Mahrus Ali memaparkan empat kewenangan dan satu kewajiban MK. Kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dikatakan Mahrus, undang-undang adalah produk politik yang memiliki banyak kepentingan di dalamnya.
“Undang-Undang itu tidak murni hukum. Karena di dalamnya banyak sekali kepentingan. Oleh karena itu harus dimurnikan lagi ke MK untuk diselaraskan dengan Konstitusi jika ada yang bertentangan. Artinya MK bersifat pasif. Jika tidak ada yang mengajukan, maka tidak akan ada pengujian. Tidak ada putusan tanpa ada permohonan,” jelas Mahrus Ali yang menyajikan materi “Memurnikan Produk Legislasi Melalui Tafsir Konstitusi”.
Mahrus Ali menjelaskan, adanya Pemilihan Presiden 2019 Serentak merupakan hasil putusan MK, bukan dari Undang-Undang. “Jadi, Undang-Undang lahir akibat putusan MK,” imbuhnya.
Selanjutnya Mahrus Ali menerangkan kewenangan MK memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. “Kalau ada lembaga negara yang bersengketa, maka MK lah yang bisa menyelesaikan. Contohnya, antara Presiden dan DPR berbeda pendapat mengenai investasi saham Newmont. Kemudian diputuskan MK bahwa Presiden berwenang melakukan investasi pembelian saham Newmont tetapi harus izin DPR,” ucapnya.
Selain itu, ada kewenangan MK memutus pembubaran partai politik. Kewenangan MK berikutnya, lanjut Mahrus Ali, memutus perselisihan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Terakhir, kata Mahrus Ali, MK berkewajiban memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum maupun perbuatan tercela.
Lantas, siapa yang bisa berperkara di MK? “Siapapun bisa berperkara di MK. Perseorangan warga negara Indonesia yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah Undang-Undang. Warga negara asing tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ke MK,” ungkap Mahrus Ali.
Hal lain dan yang paling penting saat ini, menurut Mahrus Ali, Hakim MK harus independen dan imparsial. Tujuannya adalah untuk menciptakan peradilan yang netral, bebas, dan tidak tercampur pihak mana pun. (Nano Tresna Arfana/LA)