Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) pada Kamis (4/10) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang dimohonkan 36 orang perseorangan warga negara yang terdiri atas dosen, pensiunan dosen, dan guru besar bidang kedokteran ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Manahan M.P. Sitompul.
Dalam sidang yang teregistrasi Nomor 80/PUU-XVI/2018 tersebut, para Pemohon melalui Muhammad Asrun dan Ai Latifah selaku tim kuasa hukum, menyampaikan bahwa Pasal 1 angka 12 dan angka 13 serta Penjelasan Pasal 1, Pasal 29 ayat (3) huruf d serta Penjelasan, serta Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon.
Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran berbunyi, “Organisasi Profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.” Menurut para Pemohon, pengertian frasa “Ikatan Dokter Indonesia” ditafsirkan secara sempit semata-mata sebagai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) untuk tingkat nasional. Padahal menurut para Pemohon dalam lingkungan IDI terdapat beberapa majelis yang sifatnya otonom, seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Pengertian IDI pada pasal a quo tersebut dinilai menempatkan majelis-majelis tersebut menjadi subordinat dari PB-IDI. Khususnya pula bagi Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) yang berakibat pada kesewenangan PB-IDI untuk campur tangan dalam bidang akademis/pendidikan dokter. “Dalam perkara ini para Pemohon berpendapat masih belum jelas berkaitan dengan penafsiran frasa Ikatan Dokter Indonesia dalam pasal tersebut,” jelas Ai.
Selanjutnya, menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang berbunyi, “Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau dokter gigi,”hanya mengenal istilah “dokter” dan “dokter spesialis”. Yang dimaksud dengan istilah dokter adalah dokter yang lulus dari fakultas kedokteran yang umum disebut sebagai Dokter Umum atau dokter, sedangkan bagi dokter yang mengambil spesialisasi ilmu kedokteran disebut Dokter Spesialis. Namun, sejak 10 tahun terakhir dalam praktik proses resertifikasi Dokter sama sekali tidak melibatkan institusi pendidikan kedokteran dan pemerintah. Hal ini berbeda dengan kolegium spesialis yang melibatkan institusi pendidikan kedokteran sebagaimana tercantum pada Kompendium MKKI Tahun 2016.Dengan demikian, proses resertifikasi dokter sama sekali lepas dari pengawasan pemerintah maupun Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai regulator karena IDI berpedoman pada “pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi” semata-mata merupakan urusan internal organisasi IDI.
Dalam hal ini pula, IDI menganggap dirinya sebagai self organizing body yang berhak mengatur diri sendiri tanpa mempertimbangkan pelayanan profesi kedokteran juga menyangkut kepentingan masyarakat yang memerlukan regulasi dari pemerintah dan negara. Padalah menurut para Pemohon, MK melalui Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017 tanggal 26 April 2018 dalam pertimbangan putusan menyatakan perhatian IDI agar proses resertifikasi perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan proses yang sederhana dan mendapatkan pengawasan dari pemerintah maupun KKI sebagai regulator.
“Jadi, para Pemohon menilai dirugikan hak konstitusionalnya karena dengan penyelenggaraan program pengembangan dan pendidikan berkelanjutan diragukan transparansi serta akuntabilitasprosesnya dan tanpa memperoleh pengawasan yang memadai dari pemerintah dan/atau KKI,” terang Ai.
Adapun pada Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran yang berbunyi,”Kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut,” yang dikaitkan dengan frasa “sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh kolegium yang bersangkutan,” sebagaimana tercantum pada Penjelasan Pasal 29 ayat (3) UU Praktik Kedokteran menurut para Pemohon di mana satu dan lain hal Penjelasan Pasal 1 UU Praktik Kedokteran ini tidak memberikan penjelasan terhadap ketentuan Pasal 1 angka 13.
Terdapat ketidakpastian hukum dalam kedua ketentuan tersebut terutama menyangkut pengertian kolegium dan penerbitan sertifikat kompetensi oleh kolegium. Bahwa pengertian kolegium dalam pasal a quo ditafsirkan tercakupnya kolegium untuk dokter sehingga terdapat adanya KKI dalam lingkungan IDI di samping sejumlah kolegium dokter spesialis, sedangkan UU a quo sangat jelas menyatakan kolegium diperuntukkan bagi cabang disiplin ilmu kedokteran.
“UU a quo tidak menyebutkan adanya keharusan membentuk kolegium kedokteran tersendiri untuk dokter karena ilmu kedokteran adalah batang tubuh ilmu kedokteran itu sendiri dan bukan merupakan cabang ilmu,” jelas Ai.
Dampak negatif dari pasal-pasal a quo apabila tidak dikoreksi akan menjadikan PB IDI menguasai atau mengendalikan bidang kedokteran dari hulu hingga ke hilir karena tidak terbinanya mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga dalam lingkungan IDI sebagaimana dipraktikkan senior-senior IDI pada masa-masa tahun 2000-an. “Kondisi yang mengarah pada posisi monopoli ini akan menimbulkan situasi yang tidak sehat dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang. Bagaimanapun tidak selayaknya pihak swasta memiliki posisi monopolistik. Jika perlu, hanya negara atau lembaga negara sajalah yang dapat hak monopoli yang ditujukan untuk kemanfaatan rakyat,” jelas Ai.
Untuk itu, para Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan konstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal yang diujikan.
Kepentingan atau Kedudukan
Menanggapi perkara a quo, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan terkait dengan kedudukan hukum para Pemohon yang terdiri atas akademisi bidang kedokteran. Arief menilai dalam perkara a quo, para Pemohon memang memiliki kepentingan hukum, namun dalam pengujian UU hal utama yang diperlukan adalah kedudukan hukum para Pemohon. Untuk itu, tambah Arief apabila kedudukan hukum para Pemohon ditambah dengan Pemohon yang masih dalam studi kedokteran. “Namun jika guru besar ini memang ada kepentingan hukum tetapi kedudukan hukumnya belum jelas. Jadi perlu tambahkan Pemohon yang masih belajar di fakultas kedokteran,” saran Arief.
Hal senada juga ditambahkan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berkaitan dengan kedudukan hukum para Pemohon. Menurut Manahan, Pemohon I menjelaskan diri sebagai angggota penasihat MKKI. Akan tetapi, kedudukan hukum tersebut harus dikaitkan dengan norma yang diujikan terutama dalam hal kerugian dari penerapan norma a quo. “Sedangkan Pemohon II – XXXVI harus dielaborasi lebih lanjut kedudukan hukum mereka sehingga adabenang merah norma itu menggambarkan terlanggarnya hak konstitusionalnya,” jelas Manahan.
Perkembangan Ilmu
Sementara itu, Wakil Ketua MK Aswanto menilai dalam perkara a quo melihat adanya perkembangan ilmu yang tidak sesuai dengan harapan para Pemohon yang terdiri atas akademisi, dokter, guru besar dan sejenisnya sehingga menyatakan adanya kerugian konstitusional. “Untuk para Pemohon perlu melakukan rekonstruksi keprihatinannya agar sesuai dengan amanat UUD 1945 dimana terjadi kerugian yang spesifik. Jika tidak bisa meyakinkan Mahkamah maka kami tidak bisa masuk ke dalam pokok perkara,” saran Aswanto.
Sebelum menutup persidangan, Aswanto menyampaikan para Pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Rabu, 17 Oktober 2018 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)