Sebanyak 46 siswa SMA Yasporbi berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (3/10). Agenda kunjungan adalah dalam rangka mengenal seluk beluk MK secara lebih mendalam. Panitera Pengganti MK Syukri Asy’ari menyambut mereka di Ruang Delegasi Lantai Empat Gedung MK.
Syukri mengawali pemaparan mengenai sejarah singkat MK. Syukri mengungkapkan, lembaga pengawal konstitusi yang berdiri pada 13 Agustus 2003 ini merupakan lembaga ini adalah hasil amandemen Konstitusi pasca Orde Baru runtuh.
“Dulu awal tahun kemerdekaan sempat ada usul dari M. Yamin agar Balai Agung (Mahkamah Agung) mempunyai kewenangan menguji undang-undang. Namun ide ini namun ditolak Soepomo karena masih sedikitnya sarjana hukum yang memadai kala itu,” jelasnya.
Dirinya menyebut MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasar UUD 1945. Kewenangan MK, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
Syukri menyebut komposisi sembilan orang Hakim Konstitusi merupakan representasi tiga cabang kekuasaan Negara. “Perinciannya adalah tiga orang diusulkan oleh Presiden, tiga orang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang diusulkan oleh Mahkamah Agung (MA),” jelasnya.
Secara umum, ujar Syukri, MK menerapkan proses beracara yang bersifat speedy trial. Artinya cepat dan tidak mengulur waktu. Sebab, kata dia, putusan MK menyangkut kondisi bernegara secara umum. Jika tidak cepat, maka akan menciptakan instabilitas di tengah publik.
Hingga 1 Oktober 2018, jelasnya, MK sudah menerima pengujian undang-undang sebanyak 1.215 perkara. Adapun yang diputus sejumlah 1.167 perkara. Sementara lima urutan UU yang paling banyak diuji MK sejak 2003 hingga kini yakni UU KUHAP (62 perkara), UU Pemda (42 perkara), UU Pilkada (36 perkara), UU Pemilihan Anggota DPR, DPRD, DPD (35 perkara), UU Pemilu Presiden dan Wapres (33 perkara).
(ARS/NRA)