Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Kuliah Umum di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada Selasa (2/10) siang. Kuliah umum tersebut merupakan rangkaian acara dari The 2nd Indonesian Constitutional Court International Symposium 2018 (ICCIS 2018) yang mengangkat tema Constitutional Court and the Protection of Citizens Constitutional Right. Kuliah umum ini menghadirkan Wakil Ketua MK Aswanto dan Hakim Mahkamah Persekutuan Malaysia Tan Sri Zainun binti Ali.
Dalam paparannya, Wakil Ketua MK Aswanto menjelaskan mengenai kewenangan dan tugas mahkamah konstitusi di hadapan 50 akademisi hingga mahasiswa. Aswanto memaparkan tentang lima syarat timbulnya kerugian konstitusional, di antaranya adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Aswanto melanjutkan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya UU yang dimohonkan pengujian, Mahkamah Konstitusi juga memberikan kedudukan hukum kepada organisasi non-pemerintah yang peduli terhadap isu tertentu yang berkaitan dengan berlakunya UU tertentu untuk mengajukan perkara ke Mahkamah Konstitusi, serta pembayar pajak juga memiliki kewenangan mengajukan perkara di Mahkamah Konstitusi. Timbulnya kedudukan hukum, dalam hal ini, akan dilihat dari keterkaitan antara pembayaran pajak dengan ketentuan yang diuji.
Selain itu, Aswanto menambahkan dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya menilai hasil perhitungan suara tetapi juga proses pemilu. Ia menyebut berdasarkan putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 (Pilgub Jawa Timur), Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hasil pemilukada dapat dibatalkan apabila terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang memengaruhi hasil pemilu.
Lebih lanjut, berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu, benang merah yang dapat ditarik adalah bahwa hasil pemilu hanya dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila pelanggaran Pemilu yang terjadi memiliki signifikansi yang memengaruhi hasil pemilu. Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi tidak lagi berwenang menyelesaikan sengketa pemilukada. Namun, sengketa tersebut masih tetap diselesaikan Mahkamah Konstitusi sampai dengan terbentuknya UU baru yang mengatur penyelesaian sengketa pemilukada.
Di akhir paparannya, Aswanto tegaskan mengenai Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Sementara, Hakim Mahkamah Persekutuan Malaysia Tan Sri Zainun binti Ali menjelaskan Pasal 96 dari Pengadilan Peradilan tahun 1964 menetapkan bahwa banding harus berasal dari Pengadilan Banding ke Pengadilan Federal. Prasyarat dasarnya, antara lain permohonan banding dapat dibuat atas putusan atau perintah Pengadilan Tinggi manapun, sehubungan dengan penyebab perdata atau masalah yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi dalam pelaksanaan yurisdiksi yang melibatkan pertanyaan tentang prinsip umum yang diputuskan untuk pertama kalinya, kedua yakni dari keputusan apa pun mengenai efek ketentuan Konstitusi termasuk validitas dari setiap undang-undang tertulis yang berkaitan dengan ketentuan tersebut.
Lebih lanjut, Yurisdiksi Penasehat Pengadilan Federal dapat memberikan pendapatnya tentang setiap pertanyaan yang muncul yang telah disebut oleh Yang di-Pertuan Agong, mengenai pengaruh ketentuan Konstitusi. Selanjutnya, Pengadilan Federal akan menyatakan di pengadilan terbuka pendapatnya tentang pertanyaan yang dirujuk kepadanya. (Bayu/LA)