Mahkamah Konstitusi mengundang Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Turki untuk menyampaikan materi dalam general lecture (kuliah umum) bertajuk “Constitutional Court and the Protection of Citizen Constitutional Rights” (Mahkamah Konstitusi dan Perlindungan terhadap Hak Konstitusional Warga Negara) yang dilangsungkan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Selasa (2/10). Pada hari sebelumnya, Senin, 1 Oktober 2018, Yildirim menjadi salah satu narasumber dalam The 2nd Indonesian Constitutional Court International Symposium yang digelar Mahkamah dengan tema “The Constitutional Court and Constitutionalism in Political Dynamics” (Mahkamah Konstitusi dan Konstitusionalisme dalam Dinamika Politik) di Hotel Tentrem, Yogyakarta.
Pada kegiatan tersebut, sekitar 150 orang mahasiswa berkesempatan mempelajari mengenai Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Turki. Andi Sandi selaku moderator dalam kuliah umum tersebut telah mengungkapkan bahwa Mahkamah Konstitusi RI dan Mahkamah Konstitusi Republik Turki memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Terkait hal tersebut, Engin Yildirim mengungkapkan bahwa terdapat 17 (tujuh belas) hakim konstitusi di Turki. Jumlah tersebut jelas berbeda secara signifikan dengan Indonesia yang hanya memiliki 9 (sembilan) hakim konstitusi. Yildirim juga mengungkapkan bahwa hakim konstitusi di Turki tidak dipilih oleh Presiden, Mahkamah Agung, atau Dewan Perwakilan Rakyat seperti yang dipraktikkan di Indonesia.
Kuliah umum yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini juga diisi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang merupakan dosen pengajar hukum tata negara di FH UGM sebelum dilantik menjadi hakim konstitusi menggantikan Maria Farida Indrati pada 13 Agustus 2018 lalu. Pada kesempatan tersebut, Enny Nurbaningsih menyoroti keberadaan Dewan Etik MK yang dinilainya baik. Ia mengungkapkan bahwa tidak semua Mahkamah Konstitusi memiliki kode etik profesi hakim konstitusi seperti di Indonesia. “Mahkamah Konstitusi Republik Turki tidak ada kode etik,” ungkap Enny. Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa mengungkapkan apresiasinya atas kinerja Mahkamah dalam menangani perkara perselisihan pilkada. Menanggapi hal tersebut, Enny mengungkapkan bahwa akan lebih baik bagi Mahkamah untuk fokus pada kewenangan utamanya, yaitu melakukan uji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (judicial review).
Menutup kuliah umum, Andi Sandi menyimpulkan dengan mengutip sebuah perkataan “A strong, independent, impartial, and professional Constitutional Court can give a strong protection to the citizen.” (Mahkamah Konstitusi yang kuat, independen, tidak berpihak, dan profesional dapat memberikan perlindungan yang kuat bagi warga negara). (Raisa/LA)